Kami menilai perlu tambahan penjelasan terhadap pasal-pasal yang ada, bukan tambahan pasal.
Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP Arsul Sani mengatakan partainya bisa menerima perubahan sifat delik terkait dengan pasal-pasal penghinaan presiden yang akan diatur dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sebelumnya delik biasa menjadi delik aduan.

"PPP bisa menerima jalan tengah dengan mengubah sifat delik menjadi aduan tersebut. Namun, kami meminta agar pasal ini tetap tidak menjadi pasal karet meski delik aduan," kata Arsul kepada ANTARA di Jakarta, Selasa.

Oleh karena itu, dia meminta ada penjelasan dalam pasal-pasal terkait dengan penghinaan presiden di RKUHP untuk memerinci apa yang dimaksud penghinaan.

Langkah itu, menurut dia, untuk membedakan antara penghinaan dan kritik yang disampaikan masyarakat kepada pemerintah ataupun presiden.

"Kami menilai perlu tambahan penjelasan terhadap pasal-pasal yang ada, bukan tambahan pasal," ujarnya.

Arsul menjelaskan bahwa pada saat pembahasan pasal RKUHP terkait dengan penghinaan presiden memang terjadi perdebatan cukup panjang.

Hal itu karena adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan pasal-pasal penghinaan presiden di KUHP yang ada saat ini.

Dari perdebatan panjang tersebut, lanjut dia, akhirnya muncul kesepakatan bahwa pasal tersebut tetap ada, Akan tetapi, sifat deliknya harus diubah dari delik biasa yang sebelumnya ada di KUHP saat ini menjadi delik aduan sebagaimana pasal penghinaan terhadap orang biasa.

Aturan tersebut, menurut dia, diyakini pemerintah dan DPR dengan mengubah sifat delik tersebut maka tidak "menabrak" putusan MK.

Baca juga: Kemenkumham harapkan RUU KUHP disahkan 2021

Dalam draf RKUHP yang beredar, aturan terkait dengan penghinaan terhadap presiden/wakil presiden diatur dalam BAB II Pasal 217—219.

Pasal 217 disebutkan bahwa setiap orang yang menyerang diri Presiden atau Wakil Presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.

Pasal 218 Ayat (1) menyebutkan setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

Ayat (2) disebutkan bahwa tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

Pasal 219 disebutkan bahwa setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

Pasal 220 Ayat (1) disebutkan bahwa tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan.

Ayat (2) disebutkan bahwa pengaduan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden.

Baca juga: Wamenkumham: Ada persoalan serius dan ketidakpastian hukum dalam KUHP

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021