Semarang (ANTARA) - Pegasus belakangan ini menjadi perbincangan masyarakat dunia. Bahkan, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengganti ponsel beserta nomornya setelah adanya kecurigaan bahwa dirinya dan para menteri menjadi sasaran perangkat pengintai (spyware) ini.

Juru bicara pemerintah Prancis Gabriel Attal kepada radio France-Inter, sebagaimana disiarkan ANTARA pada hari Jumat (23/7), mengatakan bahwa Macron menganggap masalah ini sangat serius.

Bahkan, Presiden Prancis ini mengadakan pertemuan darurat untuk membahas keamanan siber dan kemungkinan langkah pemerintah selanjutnya di Istana Élysée pada hari Kamis (22/7) waktu setempat.

Dikutip dari France 24, Presiden Prancis menuntut "penguatan semua protokol keamanan" terkait dengan sarana komunikasi yang sensitif.

Berdasarkan laporan Amnesty Internasional, tidak hanya Macron, sejumlah presiden, perdana menteri, dan raja juga menjadi target dari malware buatan NSO, perusahaan teknologi Israel.

Hal ini pun menjadi perhatian Lembaga Riset Siber Indonesia Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) yang dipimpin Dr. Pratama Persadha. Lembaga riset ini mengungkapkan laporan dari Amnesty International dan Citizen Lab menyusul dugaan kebocoran data pada 50.000 target potensial alat mata-mata Pegasus NSO.

Target tersebut termasuk 10 perdana menteri, tiga presiden, dan seorang raja. Sebelumnya, juga ramai diberitakan bahwa Jamal Kashogi, jurnalis Saudi, yang meninggal dunia juga menjadi target Pegasus.

Pegasus merupakan malware berbahaya yang bisa masuk ke gawai seseorang dan melakukan kegiatan surveillance atau mata-mata.

Pegasus sebenarnya merupakan sebuah trojan (jenis malware) yang begitu masuk ke dalam sistem target dapat membuka "pintu" bagi penyerang untuk dapat mengambil informasi yang berada dalam sistem target. Lebih spesifik boleh dikatakan bahwa Pegasus adalah sebuah spyware.

Malware seperti ini, menurut pakar keamanan siber Pratama Persadha, banyak dijual bebas di pasaran, bahkan ada beberapa yang bisa didapatkan dengan gratis.

Adapun yang membedakan adalah teknik atau metode yang digunakan agar malware tersebut untuk dapat menginfeksi korban, serta teknik untuk menyembunyikan diri agar tidak dapat terdeteksi oleh antivirus maupun peralatan security dan juga teknik agar tidak dapat di-tracking.

Saat ini sangat sulit untuk menghindari kemungkinan serangan malware. Pegasus sendiri hanya membutuhkan nomor telepon target. Ponsel bisa jadi terhindar dari Pegasus jika nomor yang digunakan tak diketahui oleh orang lain.

Teknik yang digunakan oleh Pegasus ini disebut dengan remote exploit dengan menggunakan zero day attack atau suatu metode serangan yang memanfaatkan lubang keamanan yang tidak diketahui, bahkan oleh si pembuat sistem sendiri.

Baca juga: Mengenal Pegasus, spyware pengintai pesan di smarthphone

Baca juga: Pengawas demokrasi Israel: Perlu regulasi khusus untuk spyware


Halaman selanjutnya: Sulit Terdeteksi

Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2021