Mitigasi bencana harus berbasis dan sejalan dengan sains dan riset
Jakarta (ANTARA) - Pengembangan sistem peringatan dini Indonesia, yang dikenal sebagai Indonesian Tsunami Early Warning System (INA-TEWS), perlu disesuaikan dengan karakter gempa dan tsunami serta kondisi geografis wilayah di Indonesia yang sangat bervariasi, kata Profesor Riset Danny Hilman Natawidjaja.

"Desain TEWS harus rinci dan spesifik untuk tiap wilayah. TEWS yang efektif harus mempunyai desain teknologi berdasarkan kajian sains, tidak asal comot, dan asal pasang," kata Danny Hilman Natawidjaja dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) saat membacakan naskah orasi Profesor Risetnya yang berjudul Riset Sesar Aktif Indonesia dan Peranannya dalam Mitigasi Bencana Gempa dan Tsunami di Jakarta, Selasa.

Seperti halnya peta bahaya seismik (seismic hazard), Danny menuturkan tsunami akibat pergerakan sesar di bawah laut juga dapat dibuatkan peta bahaya tsunaminya atau tsunami hazard map.

Dalam naskah orasi Profesor Risetnya, Danny mengatakan peta bahaya tsunami diperlukan untuk kepentingan jalur evakuasi dalam sistem peringatan dini dan juga untuk mitigasi tsunami dalam pengelolaan tata ruang dan desain konstruksi tahan tsunami.

"Tanpa pengetahuan sesar aktif di bawah laut yang memadai maka peta bahaya tsunami tidak bisa dibuat dengan baik," ujar peneliti ilmu kebumian itu.

Selain itu, Danny mengatakan mitigasi bencana membutuhkan pengetahuan sebaik-baiknya tentang karakteristik dan potensi dari sumber bencana alam itu sendiri. Jadi, mitigasi harus bersanding dengan riset dasar dan riset terapannya, seperti membuat peta-peta bahaya (hazard) dan risiko (risk).

Baca juga: LIPI lakukan studi paleotsunami ketahui potensi bencana di Indonesia

Baca juga: LIPI: Perulangan gempa merusak 5,6 bulan sekali


"Program mitigasi bencana harus berbasis dan sejalan dengan sains dan riset," tuturnya.

Danny mengembangkan riset sesar aktif sumber gempa sejak awal tahun 90-an di wilayah Sumatera, kemudian diteruskan ke Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi, Papua, dan Maluku.

Hasil riset memperlihatkan bahwa hampir seluruh wilayah Indonesia terancam bencana gempa dan tsunami. Hasil riset juga dapat merinci bahwa sistem sesar aktif sumber gempa di Indonesia berbeda-beda karakteristik dan jenis potensi bahayanya dari satu wilayah ke wilayah lainnya.

Oleh karena itu, Danny mengatakan karakter dan potensi sumber gempa dan tsunami yang spesifik untuk setiap wilayah membutuhkan penanganan mitigasi bencana yang juga harus dengan desain spesifik disesuaikan dengan kondisi sumber bencananya.

Menurut Danny, desain tersebut termasuk dalam hal materi pendidikan kebencanaan untuk masyarakat, desain program untuk menyiapkan masyarakat tangguh, dan juga desain sistem pemantauan (monitoring) untuk peringatan dininya sehingga tidak bisa asal-asalan. Itu merupakan konsep mitigasi berbasis sains dan riset.

"Dalam usaha mitigasi yang terpadu, riset dan pendidikan kebencanaan harus menjadi prioritas," kata Danny.

Danny menuturkan data sumber gempa hasil riset sesar aktif sudah dipakai sebagai input untuk membuat peta-peta seismic hazard Indonesia yang dipublikasikan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tahun 2010 dan 2017.

Peta tersebut kemudian dipakai untuk membuat Standar Nasional Indonesia (SNI) Peraturan Konstruksi Tahan Gempa yaitu SNI 1726-2012 dan terakhir SNI 1726-2019. Namun, itu belum mencakup mitigasi bahaya karena pergerakan di jalur sesar dan bahaya ikutannya.

Baca juga: LIPI sebut gempa dan tsunami raksasa akan berulang

Baca juga: LIPI: gempa di Selatan Jawa 400 tahun lalu bisa berulang


 

Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021