Dengan menyelenggarakan pelayanan publik secara digital, negara dapat menghemat biaya.
Kediri (ANTARA) - Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menegaskan bahwa DPD berupaya mempersiapkan desain legislasi pelayanan publik secara lebih modern sehingga mengusulkan rancangan undang-undang pengganti Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

"Dalam naskah RUU tersebut, DPD telah mempersiapkan desain legislasi pelayanan publik yang modern, inovatif, dan partisipatif dengan memperhatikan perkembangan globalisasi dan demografi, khususnya untuk generasi milenial," kata LaNyalla di sela reses yang digelar secara daring di Kediri, Jawa Timur, Rabu.

Terkait dengan pengaturan dalam RUU Pelayanan Publik LaNyalla berharap undang-undang ini kelak mampu menjawab tantangan untuk 10 tahun ke depan, terlebih dengan perkembangan teknologi yang makin pesat, yaitu artificial intelligence, big data, block chain, nano teknologi, dan sebagainya.

Menurut LaNyalla, Indonesia harus mampu mengadopsi semua hal tersebut dalam penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia.

"Kita percaya bahwa teknologi itu akan memudahkan, membuat efektif, efisien, transparan, dan akuntabel dalam penyelenggaraan pelayanan publik," katanya dalam zoominar tentang transformasi digital pelayanan publik dengan artificial intelligence, big data, dan smart block chain yang diadakan oleh Pusat Studi Politik Pembangunan Daerah (PSP2D) dan Pusat Kajian dan Advokasi Persaingan Usaha (PUSKAPU). 

LaNyalla juga menyebut sejumlah negara pelayanan publik secara digital sangat cepat diadaptasi oleh warganya. Dengan menyelenggarakan pelayanan publik secara digital, negara dapat menghemat biaya yang selama ini cukup besar.

"Karena dapat menghemat penggunaan kertas, pelaksana teknis, biaya honor pegawai, sewa ruangan, serta biaya-biaya lain yang dikenal dengan opportunity cost. Bahkan, dapat direduksi hingga 20 persen atau lebih," ungkapnya.

Baca juga: LaNyalla rinci poin penting di RUU Pelayanan Publik Inisiatif

Ia juga mengungkapkan bahwa pelayanan publik secara digital ini akan menimbulkan biaya-biaya baru di dalam tahapan awal pelaksanaannya, terutama untuk mempersiapkan sarana dan prasarana pendukung, seperti jaringan internet yang merata di seluruh pelosok daerah.

Selain itu, juga dibutuhkan untuk perangkat pendukung lainnya, sumber daya manusia (SDM) pelaksana, serta edukasi terkait dengan literasi digital kepada masyarakat sebagai penggunanya nanti.

Namun, pihaknya menilai perubahan aturan terkait dengan pelayanan publik tetap harus dilakukan sebab kemajuan zaman memang memerlukan perubahan dalam banyak sektor, termasuk pelayanan publik.

LaNyalla juga menilai RUU Pelayanan Publik usulan DPD RI ini juga mendukung visi dan misi pemerintahan Presiden Joko Widodo yang selalu mengedepankan program Reformasi Birokrasi sebagai upaya untuk mewujudkan pemerintahan berkelas dunia dengan meningkatkan kualitas pelayanan publik, yang pada akhirnya akan meningkat pula kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Untuk mendukung hal tersebut, lanjut dia, diperlukan paradigma baru mengenai pelayanan publik yang menjadi hak warga negara dan merupakan sebuah kewajiban untuk negara.

Menurut dia, paradigma pelayanan publik ke depan adalah bagaimana negara menempatkan warga negaranya sebagai subjek pelayanan, bukan objek dari pelayanan tersebut.

"Negara wajib menjamin hak masyarakat untuk dapat mengakses berbagai jenis pelayanan dalam memenuhi kepentingan dan kebutuhan masyarakatnya. Paradigma yang demikian kita kenal dengan paradigma new public services," ujarnya.

Layanan publik baru itu, menurut LaNyalla, sangat dibutuhkan, terutama setelah pandemi COVID-19 melanda dunia. Hal itu lantaran pandemi membuat kebiasaan masyarakat menjadi berubah, misalnya perubahan dalam sebuah kegiatan yang sejak pandemi pertemuan atau seminar diselenggarakan secara daring.

"Kondisi tersebut menuntut kita untuk mampu beradaptasi dengan dunia digital, dunia yang semuanya difasilitasi melalui fasilitas teknologi digital," kata LaNyalla.

Selain itu, saat ini hampir semua urusan dapat diselesaikan melalui gawai. Misalnya, membeli berbagai kebutuhan, membaca berita, menonton, beriklan, memesan transportasi untuk perjalanan, makanan, hotel, dan bahkan berjualan berbagai produk di dalam marketplace.

"Semua contoh tersebut menginspirasi kita mengapa tidak pelayanan publik secara digital juga dapat dilakukan. Transformasi pelayanan publik secara digital atau e-Services adalah sebuah keniscayaan untuk masyarakat Indonesia," kata lulusan Universitas Brawijaya itu.

Baca juga: DPR Setuju RUU Pelayanan Publik Jadi UU

Diingatkan pula bahwa penduduk Indonesia sekitar 271 juta jiwa didominasi oleh kelompok milenial (Gen Y) dan post-millennial (Gen Z dan Post-Z) yang secara karakteristik merupakan digital natives atau orang-orang yang sejak dini telah akrab dengan teknologi.

Dengan luas wilayah Indonesia yang memiliki 17.491 pulau, menurut dia, tentu akan efektif jika dapat dilayani oleh negara dengan mengadopsi teknologi digital.

"Dengan demikian, urusan warga negara yang berkaitan pemenuhan kebutuhan dasar dan urusan wajib pemerintah dapat diselesaikan dari secara cepat, tepat, efektif, dan efisien," ungkap LaNyalla.

Mantan Ketua Umum PSSI tersebut juga mengatakan bahwa digitalisasi merupakan isu strategis yang tidak dapat dielakkan, termasuk dalam hal pemerintahan dan penyelenggaraan pelayanan publik. Saat ini transformasi digital telah mengubah wajah interaksi manusia dan peradaban, tidak terkecuali dalam hal pelayanan publik.

"Pelayanan publik bidang kependudukan, kesehatan, pendidikan, pertanahan, keagamaan, investasi, perizinan, nonperizinan, dan lain-lain dapat diselesaikan dengan cepat dan mudah. Semua ini tentu akan menjawab stereotipe birokrasi yang pernah kita dengar, sulit, berbelit-belit, rente, dan cenderung korup tentu akan segera tuntas," katanya.

LaNyalla menambahkan bahwa politik legislasi Indonesia ke depan juga harus dapat menjawab perkembangan peradaban masyarakat yang berkembang dewasa ini.

"Sebagai wakil daerah, saya komitmen dan konsisten bahwa membangun Indonesia dari daerah untuk Indonesia harus segera mampu diwujudkan dalam politik legislasi DPD RI, yaitu dari daerah untuk Indonesia," pungkas LaNyalla.

DPD RI telah menyetujui RUU tentang Pelayanan Publik dalam Sidang Paripurna DPD RI pada Masa Sidang V Tahun Sidang 2020—2021, 16 Juli 2021. RUU inisiatif DPD RI tersebut telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Jangka Menengah 2020—2024 dan diharapkan dapat dibahas oleh DPR bersama pemerintah pada tahun 2022 sebagai Prolegnas Prioritas 2022. (*)

Pewarta: Asmaul Chusna
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021