Mereka adalah pemain kunci dalam mentransformasikan teori 'One Health' menjadi aksi kolaboratif yang berfokus pada ketahanan pangan, navigasi pandemi COVID-19, dan mencegah pandemi di masa depan
Jakarta (ANTARA) - Virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 memang pertama kali terdeteksi di Wuhan, China pada akhir 2019. Namun, asal-usul virus tersebut, hingga saat ini masih penuh misteri dan menjadi perdebatan.

Dalam laporan Reuters, 8 Desember 2020, Kepala Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus, kala itu, menyatakan bahwa pihaknya berusaha secepat mungkin untuk pergi ke China dan menginvestigasi awal mula wabah corona yang kemudian menjadi pandemi.

"Kami ingin tahu asal usulnya dan kami akan melakukan segalanya untuk mengetahui asal-usulnya," katanya.

Laporan BBC pada 25 Juni 2021 mengulas virus mematikan itu pada Juni telah menyebar ke seluruh dunia, menyebabkan lebih dari 178 juta kasus yang dikonfirmasi dan 3,9 juta kematian.

Disebutkan bahwa beberapa kasus awal terkait dengan pasar basah di Kota Wuhan, tempat klaster pertama infeksi COVID-19 tercatat, kemudian selama beberapa bulan terakhir, para ilmuwan telah mencapai konsensus luas bahwa virus menyebar sebagai akibat dari "zoonotic spillover" atau "virus yang melompat" dari hewan yang terinfeksi ke manusia, sebelum menjadi sangat menular dari manusia ke manusia.

Namun, teori lain yakin bahwa virus tersebut mungkin lolos dari fasilitas riset biologi utama, yang terletak relatif dekat dengan pasar, yakni Institut Virologi Wuhan (WIV).

Di tempat itu, para ilmuwan sudah mempelajari virus corona pada kelelawar selama lebih dari satu dekade.

Kini, perdebatan itu juga tak kunjung usai, di mana China sebagai tertuduh dan AS, Eropa, serta negara lain di sisi lain menuduh biang virus itu berasal dari Tiongkok.

Baca juga: WHO duga COVID-19 ditularkan kelelawar ke manusia lewat hewan lain

Namun, ikhwal adanya unsur zoonosis, yakni jenis penyakit yang dapat ditularkan hewan ke manusia, adalah satu faktor yang tidak lepas dari problematika COVID-19.

Dalam konteks inilah maka peran dokter hewan menjadi strategis dan signifikan dalam membantu penanganan COVID-19.

Kemampuan adaptasi

Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) melalui Pusat Darurat Untuk Penyakit Hewan Lintas Batas (Emergency Centre Fot Transboundary Animal Diseases/ECTAD), saat memperingati Hari Kedokteran Hewan Sedunia 2021 pada 24 April lalu, menyatakan pandemi COVID-19 telah mengubah cara hidup dan memengaruhi kesehatan manusia secara signifikan.

Karena itu, upaya pengendalian penyakit menjadi perhatian besar, termasuk dampaknya terhadap ketahanan pangan dan mata pencaharian peternak di sepanjang rantai nilai pangan.

Dalam situasi ini, dokter hewan mampu mengatasi dan menyesuaikan perannya untuk mendukung kesehatan masyarakat dan kesehatan hewan, serta menjaga kelangsungan dan keamanan pangan asal hewan.

Hari Kedokteran Hewan Sedunia diperingati pekerjaan mulia dokter hewan yang telah menunjukkan kemampuannya beradaptasi dalam berbagai situasi, mulai dari dokter hewan yang bekerja mengawasi kualitas produk pangan asal hewan di pasar atau di rumah potong hewan hingga dokter hewan ahli kesehatan masyarakat yang terjun dalam penanggulangan COVID-19.

Ketua Tim FAO ECTAD COVID-19 Farida Camallia Zenal menyatakan banyak dokter hewan yang memainkan peran penting di masa pandemi COVID-19.

Baca juga: Virus Nipah, ancaman baru setelah pandemi COVID-19

Ada yang bekerja untuk percepatan pengujian sampel COVID-19 di laboratorium kesehatan hewan, terlibat dalam pengembangan vaksin nasional, menjadi bagian Satuan Tugas COVID-19, serta menjaga ketahanan pangan dan stabilitas produk pangan asal hewan.

"Dari persoalan seperti keamanan dan ketahanan pangan hingga penyakit yang dapat ditularkan antara manusia dan hewan, dokter hewan memiliki pengetahuan dan pengalaman unik yang dapat dimanfaatkan selama pandemi global ini," katanya.

Keahlian tersebut mendukung pendekatan "One Health", membantu mencegah pandemi di masa mendatang dan menjaga infrastruktur kesehatan masyarakat, termasuk keamanan pekerja yang terlibat dalam produksi pangan asal hewan.

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian (PKH Kementan) Nasrullah mengatakan bersama FAO-ECTAD dan didanai oleh Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID), pihaknya telah bekerja bersama dokter hewan dalam penanggulangan COVID-19 di 10 provinsi di Indonesia.

Dalam kerja sama itu, area keterlibatannya termasuk keamanan pangan dan mata pencaharian pekerja pangan, serta diagnosis laboratorium COVID-19.

Selain itu, memberi nasihat tentang langkah-langkah untuk meminimalisasikan risiko penularan COVID-19 dari manusia ke hewan dan konsekuensinya.

Dengan pengalaman sebelumnya dalam pengendalian wabah flu burung, para dokter hewan di empat Laboratorium Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, yaitu BBVet Maros di Sulawesi Selatan, BBVet Wates di DI Yogyakarta, BVet Bukittinggi di Sumatera Barat, dan BVet Subang di Jawa Barat mampu melaksanakan uji Polymerase Chain Reaction (PCR) virus COVID-19 di wilayah kerja masing-masing.

"Sudah ada 75.595 sampel yang diuji hingga awal April 2021," kata dia.

Patut diapresiasi

Peranan dokter hewan dalam kesehatan hewan dan masyarakat di saat pandemi COVID-19, menurut Ketua Umum Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) Dr drh M Munawaroh, M.M., patut mendapatkan apresiasi yang tinggi.

"Dokter hewan adalah pekerjaan yang mulia. Mereka adalah pemain kunci dalam mentransformasikan teori 'One Health' menjadi aksi kolaboratif yang berfokus pada ketahanan pangan, navigasi pandemi COVID-19, dan mencegah pandemi di masa depan," katanya.

Baca juga: Peneliti pernah umumkan virus corona kelelawar menular manusia di 2017

Ia memberi contoh dokter hewan yang turut memberi kontribusi nyata dalam penanganan COVID-19 adalah Prof Dr Fedik A. Rantam sebagai peneliti ahli virus dan drh Sudirman sebagai CEO PT Biotis Pharmaceutical yang memiliki fasilitas pembuatan vaksin, yang telah bekerja sama dalam mewujudkan vaksin nasional.

Atas posisi penting dokter hewan, terlebih dalam kaitan pandemi itu, Direktur Kantor Kesehatan USAID Indonesia Pamela Foster mengatakan Pemerintah Amerika Serikat, melalui USAID, telah memberikan komitmen senilai lebih dari 14,5 juta dolar AS untuk mendukung respons COVID-19 di Indonesia.

"Kami gembira dapat mendukung tenaga kesehatan garis depan, termasuk dokter hewan, dalam melawan penyakit yang bisa menyebabkan kematian ini," katanya.

Dengan dukungan dari USAID dan FAO ECTAD, Indonesia memanfaatkan keahlian Balai/Balai Besar Veteriner (B/BVET) Kementan untuk menguji COVID-19 pada sampel manusia.

Keterlibatan B/BVET mempercepat dan memungkinkan dilakukannya lebih banyak tes COVID-19 sehingga dapat menyelamatkan jiwa.
Kerja sama ini menggambarkan kekuatan pendekatan "One Health" untuk mencegah, mendeteksi, dan merespons penyakit.

Dengan peran urgen seperti saat terjadi penularan penyakit yang menjadi pandemi kali ini dan juga sebelumnya, seperti flu burung, maka kiprah dokter hewan dalam kesehatan hewan dan masyarakat di saat pandemi COVID-19 menemukan momentumnya.

Baca juga: WHO: Gua kelelawar di China perlu diteliti untuk cari asal-usul COVID
Baca juga: Kemenkes: Orang terinfeksi COVID-19 bisa tularkan ke hewan
Baca juga: Kemenkes: Tidak ada bukti virus corona penyakit zoonotik

 

Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2021