kewajiban membeli listrik berasal dari energi terbarukan justru berpotensi menyebabkan kelebihan pasokan listrik dan membengkaknya biaya pokok penyediaan listrik PLN
Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi VII DPR RI Andi Yuliani Paris menyoroti isi Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) terutama terkait dengan aturan wajib pembelian listrik dari pembangkit EBT yang berpotensi membebani keuangan negara.

"Ada tambahan di Pasal 40 disebutkan terdapat kewajiban BUMN terhadap pembelian listrik energi terbarukan. Kalau ada kewajiban, biasanya ada sanksi yang mengikuti," ujarnya dalam keterangan yang dikutip di Jakarta, Minggu.

Menurut dia, isi dalam RUU EBT teranyar masih ada poin kewajiban bagi Badan Usaha Milik Negara untuk membeli listrik dari energi terbarukan yang dapat membebani PT PLN (Persero), keuangan negara, hingga masyarakat.

Selain itu, terdapat pula poin yang menjelaskan pemerintah pusat dapat menugaskan badan usaha swasta yang memiliki wilayah usaha ketenagalistrikan untuk memberi tenaga listrik yang dihasilkan.

Andi mengungkapkan dalam ayat kedua itu dijelaskan kata "dapat" yang bisa menimbulkan penafsiran berbeda atau dengan kata lain BUMN harus membeli listrik tersebut.
Baca juga: Di forum PBB, Anggota DPR: RUU EBT untuk sikapi krisis iklim dunia

Dia menilai kewajiban membeli listrik berasal dari energi terbarukan justru berpotensi menyebabkan kelebihan pasokan listrik dan membengkaknya biaya pokok penyediaan (BPP) listrik PLN karena harga beli listrik EBT lebih mahal dari rata-rata BPP listrik PLN.

Kondisi itu memiliki risiko penurunan kinerja keuangan PLN karena membeli listrik dengan harga yang lebih tinggi. "Soal subsidi harga, kita tahu untuk harga EBT belum dapat bersaing dengan harga energi lainnya," ujar Andi.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, harga listrik dari energi berbasis surya tercatat sebesar 20 sen dolar per kWh pada 2013. Berselang lima tahun kemudian harganya menurun 50 persen menjadi 10 sen.

Bahkan, data terbaru harga listrik PLTS Apung di Waduk Cirata yang menghasilkan 246 juta kWh per tahun hanya senilai 5,82 sen dolar per kWh. Sebagian kalangan menilai penurunan harga jual listrik dari pembangkit energi terbarukan akibat harga komponen pembangkit yang telah menurun signifikan.

Namun, ketentuan feed in tariff dalam RUU EBT sebagai patokan harga jual listrik pembangkit swasta ke PLN inilah yang justru dinilai bisa membebani keuangan negara.

Pengamat Ekonomi Energi dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember Mukhtasor menjelaskan idealnya politik keekonomian yang tepat bagi Indonesia adalah pembangunan dari atas ke bawah.

Menurutnya, adanya kewajiban bagi BUMN membeli listrik dari pembangkit EBT menimbulkan dua dampak, yakni risiko kelebihan pasokan listrik dan risiko kenaikan biaya pokok produksi listrik.

Selain itu, persoalan juga termaktub dalam pasal 51 RUU EBT terkait kewajiban pemerintah membayar selisih pembelian dari pembangkit EBT dalam bentuk kompensasi. "Maka APBN akan mendapatkan tekanan tambahan. Kalau APBN dalam kondisi kaya raya mungkin kita optimistis, tetapi kalau APBN sekarang kan sedang terbeban untuk membiayai penanganan COVID-19," ungkap Mukhtasor.

Apabila anggaran negara terbatas, lanjut dia, maka ada risiko pemerintah tidak dapat membayar kompensasi. Dengan begitu langsung berdampak pada potensi kenaikan harga listrik yang nantinya akan membebani masyarakat.

Baca juga: Anggota DPR: RUU EBT dorong energi bersih jadi lebih kompetitif

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2021