Jakarta (ANTARA) - Pemikiran ahli ekonomi John Maynard Keynes dalam The General Theory of Employment, Interest, and Money, (1936) menyebutkan pengeluaran pemerintah menjadi pendorong utama ketika hampir semua komponen penggerak perekonomian melambat.

Namun sebesar apapun pengeluaran pemerintah, dampak terhadap kondisi sosial dan ekonomi masyarakat baru tercipta optimal jika daya ungkit bekerja dengan baik.

Dalam pidato penyampaian RUU APBN Tahun Anggaran 2022 dan Nota Keuangan, Senin, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyadari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus disusun sebagai instrumen kontra-siklus (counter-cyclical) terhadap kondisi penuh tekanan saat ini. Hal tersebut untuk menjaga komponen penggerak perekonomian, seperti konsumsi, investasi, dan ekspor-impor.

Untuk mengoptimalkan APBN, pemerintah juga sudah memiliki wewenang yang lebih leluasa untuk melonggarkan defisit APBN dan mendapat relaksasi pembagian beban berwujud pembiayaan surat utang dengan bank sentral.

Namun seluruh komponen untuk mendorong gas pemulihan ekonomi-sosial tersebut, harus dijaga dengan ketepatan rem yang bergantung pada perkembangan pandemi Virus Corona. Bahkan Presiden Jokowi menyebut pandemi saat ini seperti api, begitu juga krisis, resesi. Namun, api juga bisa memberikan cahaya untuk melihat dalam perspektif yang lebih luas.

Pengalaman pahit ketika pandemi COVID-19 gelombang II menyerang Indonesia setelah Lebaran 2021 menimbulkan kepastian bahwa sebenarnya belum ada kepastian mengenai akhir dari pandemi COVID-19.

Belum lagi  tantangan global lainnya, seperti ancaman perubahan iklim, peningkatan dinamika geopolitik, serta pemulihan ekonomi global yang tidak merata.

Oleh karena itu APBN 2022 memang harus responsif untuk menjaga momentum lompatan pemulihan ekonomi-sosial, namun juga harus antisipatif dengan cepatnya perubahan kondisi ekonomi-sosial domestik maupun global.

Pada 2022 pemerintah memasang target pertumbuhan ekonomi yang tak terlalu ambisius atau dapat dikatakan cukup moderat yakni di kisaran 5-5,5 persen. Target pertumbuhan ekonomi ini menggambarkan proyeksi pemulihan yang cukup kuat, didukung oleh pertumbuhan investasi dan ekspor.

Indonesia sudah berada di dalam jalur pemulihan meskipun belum optimal. Pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi di kuartal II 2021 sebesar 7,07 persen (yoy) juga harus diakui karena tertolong basis pertumbuhan yang rendah pada kuartal II 2020, selain karena faktor pulihnya konsumsi dan investasi.

Laju inflasi pada 2022 ingin dijaga di tiga persen. Indikator ini menunjukkan optimisime pemerintah tentang kenaikan sisi permintaan.

Nilai tukar rupiah diperkirakan bergerak pada kisaran Rp14.350 per dolar AS, dan suku bunga Surat Utang Negara (SUN) 10 tahun diperkirakan sekitar 6,82 persen. Indikator tersebut cukup relevan dengan kondisi fundamental ekonomi dan tantangannya di tengah ekonomi global.

Dari sisi fiskal Presiden Jokowi mengalokasikan belanja negara sebesar Rp2.708,7 triliun pada 2022. Jika mengacu pada APBN 2021, belanja negara turun dari posisi Rp2.750 triliun. Meskipun belanja negara turun, pemerintah menaikkan anggaran kesehatan hingga Rp255,3 triliun pada 2022, dibandingkan Rp169,7 triliun pada 2021.

Dengan kenaikan anggaran kesehatan itu, pemerintah ingin mengantisipasi risiko dampak COVID-19, dengan peningkatan pengujian, pelacakan, dan perawatan, vaksinasi COVID-19 serta penguatan sosialisasi dan pengawasan protokol kesehatan.

Penurunan pagu belanja negara pada RAPBN 2022 dibandingkan APBN 2021 patut diperkirakan karena pemerintah ingin mengendalikan defisit anggaran hingga 4,85 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau Rp868 triliun. Jika benar, komitmen pemerintah untuk mengendalikan defisit anggaran perlu diapresiasi karena menunjukkan upaya konsolidasi instrumen fiskal, namun APBN tetap menjadi instrumen yang kontra-siklus.

Dengan belanja negara sebesar Rp2.708,7 triliun di 2022, pemerintah juga ingin mencapai sasaran pembangunan yakni tingkat pengangguran terbuka menurun di 5,5-6,3 persen, Tingkat kemiskinan di kisaran 8,5-9,0 persen, Tingkat ketimpangan atau rasio gini di kisaran 0,376-0,378, dan indeks pembangunan manusia di kisaran 73,41-73,46.

Di sisi lain, pemerintah juga menargetkan peningkatan pendapatan negara pada 2022 sebesar Rp1.840,7 triliun, dari 2021 sebesar Rp1.743,6 triliun. Untuk sumber pendapatan tersebut, pemerintah ingin menumbuhkan penerimaan perpajakan hingga menjadi Rp1.506,9 triliun, dengan memperluas basis pajak, meningkatkan kepatuhan, serta memperbaiki tata kelola dan administrasi perpajakan.

Untuk sisa pendapatan negara akan bersumber dari Pendapatan Negara dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang ditargetkan sebesar Rp333,2 triliun.

Baca juga: Presiden Jokowi bacakan asumsi makro RAPBN 2022, ini rinciannya


Reformasi Struktural

Target pertumbuhan ekonomi itu tentu tak bisa didapat jika hanya mengandalkan pengeluaran dari APBN. Maka itu, pengeluaran dari APBN harus dilipatgandakan dengan daya ungkit dan efek pengganda ekonomi (multiplier-effect) yang optimal. Hal itu memerlukan keberlanjutan reformasi struktural.

Beberapa upaya reformasi struktural yang telah dilakukan dan diyakini akan berdampak adalah program hilirisasi komoditas ekspor, penerapan Undang-Undang Cipta Kerja, pendirian Lembaga Pengelola Investasi, dan Sistem Perizinan OSS Berbasis Risiko.

Untuk keberlanjutan reformasi struktural, pemerintah juga menerapkan politik anggaran yang cukup kuat, terlihat dari alokasi anggaran untuk anggaran pendidikan sebesar Rp541,7 triliun, anggaran pembangunan infrastruktur sebesar Rp384,8 triliun, dan anggaran transfer ke daerah dan Dana Desa sebesar Rp770,4 triliun.

Staf Khusus Presiden Arif Budimanta sebelumnya mengatakan pemerintah terus berupaya melanjutkan reformasi struktural. Hal itu, ujarnya, sudah terlihat dalam struktur pertumbuhan ekonomi di kuartal II 2021.

Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atau investasi dan ekspor memiliki kontribusi yang baik terhadap pemulihan ekonomi nasional di kuartal II 2021.

Arif mengatakan tren positif tersebut harus dipertahankan agar struktur ekonomi domestik ke depan tidak hanya akan mengandalkan dorongan konsumsi rumah tangga, namun juga mulai bertransisi ke sektor yang lebih produktif seperti investasi dan ekspor. Peningkatan investasi dan ekspor juga diperlukan agar melipatgandakan lapangan kerja yang berkualitas dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Dengan demikian, pemulihan sosial-ekonomi saat pandemi dapat menjadi fondasi untuk menerapkan reformasi struktural. Sedangkan reformasi struktural dapat membuat pertumbuhan ekonomi dapat berlari lebih kencang setelah pandemi karena Indonesia mempunyai cita-cita untuk menjadi negara berpendapatan tinggi dari posisi saat ini sebagai negara berpendapatan menengah ke bawah.

Baca juga: Presiden targetkan pertumbuhan ekonomi 5-5,5 persen pada 2022

 

Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2021