Jakarta (ANTARA) - Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menyatakan siap membantu menyelesaikan sejumlah keluhan pengemudi ojek online dan berencana memanggil pihak terkait, antara lain aplikator, asosiasi driver, pihak pemerintah (Kemenhub atau Kominfo).

Hal itu disampaikan oleh Ketua DPD RI yang diwakili oleh senator Bustami Zainudin (Lampung), Evi Apita Maya (NTB), serta Staf Khusus Ketua DPD RI Sefdin Syaifudin dan Togar M. Nero, saat beraudiensi dengan beberapa komunitas ojek online di Kantor DPD, Komplek Parlemen Senayan, Senin.

Staf Khusus Ketua DPD RI, Sefdin mengatakan LaNyalla sangat paham kondisi ojol di tengah pandemi. Dia meminta aplikator untuk berempati dengan situasi sulit saat ini. Apalagi aplikator dan driver merupakan mitra yang seharusnya ada keseimbangan dan saling menguntungkan.

"Kita fokuskan dulu pada aspirasi pertama, tentang potongan 20 persen per sekali antar atau per trip pemesanan yang memberatkan ojol di masa pandemi ini. Ketua DPD akan panggil semua pihak, difasilitasi Ketua DPD duduk bareng, membicarakan hal itu agar bisa diturunkan potongannya," kata Sefdin dalam keterangannya, Senin.

Menurut Sefdin, perlu kajian mendalam jika berbicara payung hukum karena menyangkut perlindungan pekerja sektor informal.

"Di dalamnya harus ada tentang kesehatan, perlindungan jaminan sosial, jaminan hari tua, dan lain-lain. Agak kompleks, sehingga memang perlu kajian dan banyak pihak yang ikut serta dalam pembahasan," ujarnya.

Ketua DPD sepakat bahwa transportasi online, khususnya ojek online harus jelas 'induknya' atau mempunyai 'akta kelahiran'. Sebab sejak ojek berbasis online ada di tahun 2012 status induknya di negara ini belum jelas.

"Memang harus jelas berinduk di mana, Kemenhub atau Kominfo, agar ojol tidak dianaktirikan. Tidak dilempar kesana-kesini kalau ada masalah," tegas Sefdin.

Berkaitan dengan regulasi atau payung hukum ojek online yakni revisi UU No 22 tahun 2009, Senator asal Lampung, Bustami Zainudin mengatakan DPD bisa menginisiasi hal itu.

Menurut dia, hal-hal yang tidak tertampung di dalam UU itu harus disikapi.

"Kami di Komite II dan Komite III akan membahasnya, dari sisi lalu lintas dan ketenagakerjaannya," ujar Bustami.

Pada pertemuan tersebut, ada dua poin yang menjadi aspirasi komunitas ojol yang tergabung dalam Seroja (Serikat Ojol Indonesia).

Ketua Umum Seroja Andi Kristiyanto menyampaikan, yang pertama terkait potongan pendapatan mitra atau driver di masa pandemi yang tetap tinggi, yakni 20 persen.

"Kita berharap realisasi potongan komisi driver. Di masa pandemi, saat susah order, banyak penyekatan, potongan 20 persen sangat memberatkan. Kita minta di angka 5 persen atau kalau tidak bisa ya win-win solution di angka 10 persen," kata Andi.

Kedua terkait legalitas atau payung hukum transportasi berbasis online yang hingga saat ini belum ada.

Senada dengan hal tersebut, Rahman dari Forum Komunikasi Driver Online Indonesia (FKDOI) meminta ada revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

"Kita ingin UU No 22 ini direvisi sehingga mengakomodasi pasal tentang kendaraan roda dua jadi transportasi khusus terbatas. Kita sangat paham kendaraan roda dua tidak bisa menjadi transportasi umum. Tapi faktanya aktivitas ojek online saat ini dibutuhkan sekali di era ekonomi berbasis digital," kata Rahman.

Komunitas ojol berharap DPD menjadi pelabuhan terakhir bagi mereka dalam menyampaikan aspirasi. Mereka meminta DPD benar-benar memperjuangkan nasib mereka secara konkrit.

Karena menurut mereka, aspirasi itu sudah pernah disampaikan ke DPR dan Presiden namun tak membuahkan hasil.
Baca juga: Komunitas ojek online tegaskan tidak terlibat rencana unjuk rasa PPKM
Baca juga: Polisi prioritaskan ojek daring lewati pos penyekatan meski tanpa STRP


 

Pewarta: Adimas Raditya Fahky P
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2021