Jakarta (ANTARA) - Komnas Perempuan menyambut baik upaya percepatan dalam mengatasi kondisi kebijakan diskriminatif melalui Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN HAM) sebagaimana termaktub dalam Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2021.

Anggota Komnas Perempuan Veryanto Sitohang menyebut upaya ini sejalan dengan amanat konstitusi yang secara tegas dalam Pasal 28E ayat 1 dan 2, Pasal 29 UUD RI 1945 telah menyatakan komitmen negara dalam menjamin hak kebebasan beragama dan berkeyakinan.

"Komnas Perempuan merekomendasikan agar pemerintah memastikan daya dukung pelaksanaan RAN HAM untuk mengatasi kebijakan diskriminatif di tingkat nasional dan daerah," kata Veryanto dalam Media Gathering bertajuk "Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh bagi Harapan Perempuan Korban Kekerasan dan Diskriminasi Agama dan Keyakinan" yang dipantau secara daring di Jakarta, Selasa.

Pihaknya juga meminta Presiden RI dan DPR RI agar melakukan review dan memperbaiki kebijakan diskriminatif di tingkat nasional.

Komnas Perempuan meminta Polri agar memastikan tindakan prosedur pengamanan dapat memberikan perlindungan dan mencegah kriminalisasi kepada kelompok rentan yang mendapatkan ancaman dan tindak kekerasan berdasarkan agama dan keyakinan.

"Kementerian/ Lembaga yang memiliki lembaga pendidikan dan pelatihan agar memuat kurikulum prinsip nondiskriminasi dan penghormatan pada jaminan hak beragama dan berkeyakinan," kata Veryanto.

Baca juga: Menkumham: Ranham generasi V fokus pada kelompok rentan
Baca juga: KSP: Perpres RANHAM peta pelaksanaan tanggung jawab HAM pemerintah


Pihaknya meminta Kemenkopolhukam untuk mempercepat penyelesaian kasus intoleransi yang telah berlarut-larut serta mendorong pelibatan perempuan dalam merumuskan solusi terbaik serta melakukan upaya pemulihan terhadap perempuan, anak dan lansia yang mengalami trauma atas berbagai insiden kekerasan dan diskriminasi.

Menurut Komnas Perempuan, sejauh ini penyelesaian konflik intoleransi berbasis agama dan keyakinan kurang melibatkan perempuan.

"Dalam penyelesaian konflik-konflik intoleransi berbasis agama dan keyakinan, pemerintah di tingkat nasional maupun daerah kurang melibatkan perempuan secara substantif. Akibatnya solusi konflik tidak mengintegrasikan kebutuhan khusus pemulihan perempuan korban kekerasan agama dan keyakinan, juga kelompok rentan lainnya seperti anak-anak dan lansia," kata Veryanto.

Baca juga: Komnas HAM : Kesampingkan pemenuhan hak ibu termasuk pelanggaran HAM
Baca juga: KPPPA: Kekerasan terhadap perempuan pelanggaran HAM
Baca juga: Perguruan tinggi diminta menutup ruang perkembangan intoleransi

Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2021