Jakarta (ANTARA News) - Sultan Agung berang. Raja Kerajaan Mataram itu mengirimkan sedikitnya sepuluh ribu pasukan ke Batavia, sebuah tempat yang sebelumnya bernama Jayakarta.

Tujuan Sultan Agung hanya satu, menggempur kekuatan Belanda serta serikat dagangnya, VOC. Sang Sultan merasa perlu menghardik VOC yang dia anggap mengangkangi Mataram, kerajaan yang dia anggap sebagai pemilik sah tanah Jawa.

Perangpun pecah pada pertengahan 1628. Ribuan pasukan Mataram merangsek ke Batavia di bawah komando sejumlah tumenggung dan adipati kepercayaan sultan.

Pertumpahan darah terjadi di Batavia. Bukan darah pasukan Belanda, melainkan darah ribuan pasukan Mataram yang membasahi tanah.

Kekurangan perbekalan menjadi alasan kekalahan para pengikut Sultan Agung.

Namun, sultan merasa sudah terlanjur kehilangan harga diri akibat ulah VOC. Dia kemudian melakukan serangan kedua, dengan strategi yang lebih matang dan bala tentara yang lebih banyak.

Dia membangun sejumlah lumbung pangan di sekitar Karawang dan Cirebon. Apa daya, VOC lebih cerdik. Serikat dagang bersenjata itu membakar lumbung-lumbung pasukan Mataram, sehingga nasib buruk lagi-lagi membayangi kerajaan itu.

Duka cita Mataram tidak selamanya bermakna kekalahan. Sejumlah literatur mengungkapkan, ribuan pasukan Mataram telah berhasil mengacak-acak sistem sanitasi, irigasi, dan transportasi Belanda yang berhulu di Sungai Ciliwung.

Alhasil, sungai itu tercemar dan wabah kolera melanda Batavia. Gubernus Jenderal saat itu, JP Coen, dan sejumlah petinggi militer Belanda meninggal akibat wabah tersebut.


"Konflik baru"

Hampir 400 tahun setelah konfrontasi Mataram-Batavia, ketegangan baru muncul di penghujung 2010 meski bukan dalam bentuk kontak fisik. Poros Yogyakarta-Jakarta kembali memanas setelah pemerintah pusat berniat mengatur keistimewaan Yogyakarta. Pengaturan ini, menurut sejumlah pihak, akan mengurangi wibawa Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Ketegangan era baru ini muncul dalam bentuk sejumlah aksi unjuk rasa ribuan rakyat Yogyakarta. Mereka menolak usul pemerintah pusat tentang pemilihan gubernur melalui pemilu.

Rakyat Yogyakarta merasa keistimewaan daerah itu terletak pada mekanisme penetapan Sultan dan penggantinya secara otomatis sebagai gubernur DIY.

Akhir-akhir ini, perlawanan bukan hanya muncul dikalangan rakyat. Keraton juga mulai menggugat.

Gusti Bendoro Pangeran Haryo Prabukusumo adik Sri Sultan Hamengkubuwono X, secara resmi menyatakan mengundurkan diri dari jabatan Ketua DPD Partai Demokrat Daerah Istimewa Yogyakarta sekaligus keluar dari keanggotaan partai tersebut.

"Alasan pengunduran diri saya ini karena ada perbedaan pemahaman tentang Rancangan Undang-undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, antara sikap politik saya dengan kebijakan DPP Partai Demokrat," kata Gusti Bendoro Pangeran Haryo (GBPH) Prabukusumo.

Prabukusumo merasa partai yang selama ini dia bela telah mengusik harga diri dan martabat garis keturunan raja Yogyakarta. Ayahnya, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, telah merelakan diri untuk bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Penguasa republik saat itu, menyetujui keistimewaan Yogyakarta yang salah satunya ditandai dengan penetapan Sultan sebagai gubernur.

"Saya harus menjaga harga diri almarhum ayahanda dan Sri Paduka Paku Alam VIII, sebagaimana yang tertuang dalam Amanat 5 September 1945," katanya.

Menurut dia, pernyataan ayahnya untuk bergabung dengan NKRI dengan jabatan gubernur adalah bentuk pengorbanan yang luar biasa. Ayahnya yang sebelumnya adalah raja sebuah negara merdeka bernama Ngayogyakarta Hadiningrat, mau merendahkan diri, bergabung, dan membela kedaulatan republik.

"Dengan jadi gubernur dan wakil gubernur, yang tadinya kekuasaan penuh menjadi terbatas, karena harus taat pada UUD 1945, Kepres dan undang-undang lainnya. Ini merupakan pengorbanan harga diri, apa iya sekarang masih mau dipotong lagi," katanya.

Prabukusumo juga menyatakan sakit hati atas pernyataan seorang kader Partai Demokrat ketika menyinggung keistimewaan Yogyakarta dan kerabat keraton.


"Perebutan wilayah"

Kembali ke tahun 1682. Pemerhati kebudayaan dan sejarah Jawa dari Monash University, M.C. Ricklefs menyatakan, konfrontasi Mataram-Batavia berawal dari kemarahan Sultan Agung yang menganggap VOC berbuat lancang.

Sultan Agung menganggap VOC melanggar peringatan dengan mengganggu ketenteraman Pulau Jawa melalui sebuah aksi pencaplokan Batavia.

Sang Sultan sebenarnya sudah menawarkan kerjasama dengan VOC, terutama untuk menjadikan Surabaya sebagai musuh bersama. Namun, VOC menolak.

Watak keras dan politik ekspansi berwajah peperangan yang menjadi ciri khas Sultan Agung kembali muncul. Dia menyatakan perang terhadap Batavia.

Berbicara soal wilayah kekuasaan akan menyingung soal tanah dan pengelolaannya. Hal itu pula yang dinyatakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato menyikapi polemik keistimewaan Yogyakarta.

Saat itu, kepala negara menyinggung masalah pengelolaan tanah sebagai salah satu unsur keistimewaan yang akan diatur dalam Rancangan Undang-undang Keisimewaan.

"Tentang hak ekslusif pengelolaan tanah di Yogyakarta, baik yang menjadi otoritas Kesultanan maupun Pakualaman dan tata ruang khusus pula bagi Daerah Istimewa Yogyakarta," kata presiden.

Selama ini, Kasultanan Yogyakarta telah menerapkan sistem pengelolaan tanah keraton secara mandiri.

Tanah keraton yang dikenal dengan "Sultan Ground" itu merupakan tanah adat peninggalan leluhur yang dimiliki oleh Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Tanah keraton kini dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat dalam bentuk areal pertanian, penghijauan, konservasi tanaman langka, dan pusat budaya.

Salah satu pemanfaatan tanah keraton adalah untuk tempat tinggal rakyat Yogyakarta dengan status "magersari". Rakyat boleh memanfaatkan tanah, dengan kesadaran penuh bahwa status tanah itu adalah milik keraton.

Penduduk setempat yang menempati tanah itu tidak memiliki sertifikat. Mereka hanya berbekal "Serat Kekancingan" atau surat yang dikeluarkan Keraton tentang penggunaan tanah.

Keraton menugaskan sejumlah abdi dalem yang tergabung dalam satuan khusus pengelolaan tanah bernama "Paniti Kismo". Satuan khusus ini memiliki struktur organisasi yang tertata apik hingga tingkat desa.

"Paniti Kismo" memiliki otoritas mengelola pemanfaatan tanah keraton untuk berbagai kepentingan dan kesejahteraan rakyat Yogyakarta.

Menurut Pusat Dokumentasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, rakyat yang berbekal "Serat Kekancingan" tidak dibebani pembayaran pajak kepada "Paniti Kismo" dan keraton.

Bahkan, rakyat juga tidak perlu menyerahkan "Glondhong Pengarem-arem" atau uang yang diberikan oleh rakyat Yogyakarta kepada keraton sebagai ucapan terima kasih karena boleh menggunakan tanah keraton.

Singkat kata, tanah milik keraton itu digunakan secara gratis oleh rakyat Yogyakarta. Rakyat bisa menempati tanah itu secara turun temurun tanpa beban pajak.

Sampai saat ini, keraton melalui Prabukusumo baru menggugat soal niat pemerintah mengubah mekanisme penetapan Sultan sebagai gubernur DIY.

Keraton belum menggugat kemungkinan berkurangnya lahan pertanian, hunian, pusat budaya, dan konservasi tanaman langka karena menjelma menjadi kawasan bisnis akibat perubahan mekanisme pengelolaan tanah.

Kawasan bisnis itu tentu akan menjadi pusat kekuasaan modal baru yang mendatangkan keuntungan bagi pihak tertentu.

Kasultanan Yogyakarta juga belum menggugat kemungkinan hilangnya martabat keraton karena tak mampu lagi berbagi rasa dengan rakyatnya melalui sistem penataan tanah yang tidak saling membebani.(F008/K004)

Oleh Oleh F.x. Lilik Dwi Mardjianto
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010