Perubahan iklim berdampak terhadap Indonesia, terutama dengan meningkatnya intensitas hujan. Pemerintah perlu melakukan adaptasi dan mitigasi. Tidak ada waktu untuk berleha-leha, tindakan mitigasi harus dilakukan dengan mereduksi jumlah emisi karbon
Jakarta (ANTARA) - Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2021 yang akan digelar pada pekan ketiga bulan ini menyerukan percepatan dekarbonisasi sistem energi sebagai solusi tepat mengurangi emisi gas rumah kaca.

Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) terbaru memprediksi bila negara di dunia tidak menerapkan langkah yang ambisius dalam memitigasi perubahan iklim maka kenaikan suhu bumi melebihi 1,5 derajat celcius akan berlangsung hanya dalam dua dekade mendatang.

“Perubahan iklim berdampak terhadap Indonesia, terutama dengan meningkatnya intensitas hujan. Pemerintah perlu melakukan adaptasi dan mitigasi. Tidak ada waktu untuk berleha-leha, tindakan mitigasi harus dilakukan dengan mereduksi jumlah emisi karbon di atmosfer,” kata Wakil Ketua Kelompok Kerja I IPCC Edvin Aldrian dalam keteranganya di Jakarta, Selasa.

Baca juga: Teknologi CCUS ciptakan pengembangan lapangan migas rendah karbon

Untuk mencegah kenaikan suhu bumi yang signifikan, Indonesia sebagai negara yang meratifikasi Persetujuan Paris terikat secara hukum untuk mengintegrasikan kebijakannya dalam meraih target netral karbon selambatnya tahun 2050.

Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang bahwa komitmen dan kebijakan Indonesia masih belum selaras dengan Persetujuan Paris.

Hal ini tercermin dari dokumen pemutakhiran komitmen nasional Indonesia atau Nationally Determined Contributions (NDC) 2021. Selain terlambat 10 tahun dari target Persetujuan Paris, IESR menilai bahwa skenario mitigasi di sektor energi dalam dokumen tersebut masih sarat dengan energi fosil.


Baca juga: Pendekatan ekonomi-teknologi digital dukung pelestarian lingkungan

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan skenario rendah karbon yang kompatibel dengan Persetujuan Paris (LCCP) dalam strategi jangka panjang untuk rendah karbon dan ketahanan iklim (LTS-LCCR) belum mencerminkan Indonesia mengatasi krisis iklim.

Menurutnya, pemerintah terjebak dalam solusi instan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dengan berharap pada teknologi, seperti penangkapan dan penyimpanan karbon yang mahal serta kurang efektif menurunkan emisi gas buang pembangkit listrik tenaga uap.

"Skenario ini justru menjauhkan kita dari transformasi sistem energi berbasis pada teknologi terbaik yang lebih andal, bersih, dan kompetitif,” tegas Fabby.

Kerangka kebijakan yang kuat untuk memobilisasi teknologi dan investasi di sektor energi terbarukan dapat menjadi upaya dekarbonisasi sistem energi.

IETD 2021 kerja sama IESR dan Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) akan membahas secara terperinci jalur yang dapat ditempuh Indonesia untuk mencapai bebas emisi 2050 dengan mengundang lebih dari 60 pembicara dari Indonesia maupun internasional.

Acara tersebut akan yang berlangsung selama lima hari,  20-24 September 2021, akan dibuka secara resmi oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif.

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2021