Jakarta (ANTARA) - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) berkoordinasi dengan para pemangku kepentingan untuk mencegah terjadinya praktik berbahaya perlukaan dan pemotongan genitalia perempuan (P2GP) atau sunat perempuan.

"Pemerintah secara serius berkomitmen mencegah terjadinya sunat perempuan (P2GP) di Indonesia. Kemen PPPA bersinergi dengan berbagai pemangku kepentingan telah menyosialisasikan roadmap dan menyusun Rencana Aksi Pencegahan P2GP dengan target hingga tahun 2030. Berbagai strategi yang akan dilakukan yaitu melalui pendataan, pendidikan publik, advokasi kebijakan dan koordinasi antarpemangku kepentingan," kata Menteri PPPA Bintang Puspayoga melalui siaran pers di Jakarta, Kamis.

Komitmen ini dilakukan untuk mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) melalui Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017, khususnya pada tujuan 5.3 yaitu "menghapuskan semua praktik berbahaya, seperti perkawinan usia anak, perkawinan dini dan paksa serta sunat perempuan".

Bintang menegaskan sinergi semua pihak, baik pemerintah, lembaga masyarakat, tokoh agama, tokoh masyarakat dan media massa dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat merupakan kunci mencegah praktik sunat perempuan di Indonesia.

"Sunat perempuan masih menjadi permasalahan serius di Indonesia, bahkan beberapa kali disoroti dunia internasional. Data Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas) Kementerian Kesehatan pada 2013 menunjukkan bahwa secara nasional, 51,2 persen anak perempuan berusia 0-11 tahun mengalami praktik sunat perempuan dengan kelompok usia tertinggi sebesar 72,4 persen yaitu pada anak berusia 1-5 bulan. Selain itu, Gorontalo menjadi provinsi tertinggi dengan praktik sunat perempuan yaitu sebesar 83,7 persen," ujar Bintang.

Menurutnya, sunat perempuan menjadi masalah yang sangat kompleks di Indonesia karena dilakukan berdasarkan nilai-nilai sosial secara turun-temurun.

"Padahal dengan berbagai dampak yang merugikan perempuan dan manfaat yang belum terbukti secara ilmiah, sunat perempuan merupakan salah satu ancaman terhadap kesehatan reproduksi serta salah satu bentuk kekerasan berbasis gender bahkan pelanggaran terhadap HAM," tegasnya.
Baca juga: KPPPA: Praktik sunat perempuan berbahaya
Baca juga: Sunat perempuan hanya karena budaya
Baca juga: Sunat perempuan dianggap kekerasan terhadap anak
Baca juga: Manfaat sunat bayi perempuan menurut ahli

Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2021