Dengan adanya neraca akan mengikat para pihak untuk setidaknya mengerem laju pembangunan tidak semata tumbuh tapi juga berkualitas, prolingkungan dan berkeadilan.
Jakarta (ANTARA) - Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Moh Abdi Suhufan mengingatkan bahwa neraca sumber daya laut yang sedang disusun oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan berbagai pihak harus mampu mengerem laju pembangunan yang tidak berkualitas.

"Dengan adanya neraca akan mengikat para pihak untuk setidaknya mengerem laju pembangunan tidak semata tumbuh tapi juga berkualitas, prolingkungan dan berkeadilan," kata Moh Abdi Suhufan kepada Antara di Jakarta, Minggu.

Apalagi, pada saat ini masih terjadi pembangunan di berbagai daerah yang dinilai tidak mendukung tapi malah mengurangi fungsi ekologis dari ekosistem kawasan perairan nasional.

Baca juga: KNTI: Pilar neraca sumber daya laut jangan hanya aspek ekonomi

Abdi menyatakan, indikator dari neraca sumber daya laut tersebut diharapkan bisa disusun bersama-sama antara KKP dengan berbagai pemangku kepentingan utama sektor kelautan dan perikanan.

"Yang paling penting adalah konsensus dan kesepakatan bersama tentang indikator subsektor yang masuk dalam neraca tersebut. Selanjutnya adalah ketersediaan data yang up to date dan konsisten untuk mengukur status neraca," katanya.

Ia berpendapat bahwa selama ini data sektor kelautan perikanan cukup banyak tapi tidak terkonsolidasi dengan baik.

Bila neraca tersebut telah prolingkungan, lanjutnya, diharapkan akan dilakukan dengan penuh komitmen dan konsisten oleh berbagai pihak terkait.

KKP tengah menyusun neraca sumber daya laut untuk mendukung geliat investasi berkelanjutan di Indonesia yang sedang dicoba digalakkan oleh pemerintah di berbagai daerah.

Baca juga: Neraca sumber daya laut perlu perhatikan aspek kearifan lokal pesisir

Plt. Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (PRL) KKP Pamuji Lestari menerangkan bahwa neraca sumber daya laut merupakan instrumen untuk mengukur kondisi sumber daya laut di Indonesia secara berkala, termasuk dimaksudkan untuk mengukur dampak investasi terhadap aset laut Indonesia.

"Kebutuhan penyusunan neraca sumber daya laut menjadi semakin mendesak dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja untuk menstimulasi geliat investasi," katanya.

Ia mengemukakan bahwa pembahasan penyusunan neraca sumber daya laut tersebut bekerja sama dengan Badan Informasi Geospasial (BIG), Kementerian Keuangan dan Badan Pusat Statistik (BPS), serta merupakan yang pertama kali dilakukan di Indonesia.

"Neraca sumber daya laut dipandang sebagai salah satu alat ukur yang tepat, karena dapat menghitung nilai ekonomi versus potensi kerugian secara ekologis, atau disebut sebagai nilai ekonomi investasi," jelas Tari.

Neraca sumber daya alam (termasuk laut) merupakan salah satu agenda/mandat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2024 dan kesepakatan global melalui Convention on Biological Diversity (CBD), Sustainable Development Goals (SDGs), dan High Level Panel for a Sustainable Ocean Economy (HLP SOE).

Sejak tahun 2020 Ditjen PRL bersama BIG, BPS, Kementerian Keuangan dan mitra lainnya telah menginisiasi penyusunan neraca sumber daya laut dengan lokasi proyek percontohan (pilot project) di Taman Wisata Perairan (TWP) Gili Matra. Inisiasi tersebut saat ini juga didukung oleh Global Ocean Account Partnership (GOAP).

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2021