Ini bukan kerajaan bung"
Jakarta (ANTARA News) - Mereka datang dari mana-mana. Ada dari Surabaya, Pasuruan, Malang, Bandung. hingga Papua, dan tentu saja Jakarta. Ada yang datang dengan menumpang kereta, ada yang berkendara bus, ada juga yang berpesawat terbang.

Dialek berbicara mereka lain-lain, juga bahasa ibunya, apalagi kebiasaannya.  Tapi tujuan mereka satu; merombak tubuh Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) dengan menghentikan Nurdin Halid tak lagi memimpin organisasi itu.

"PSSI harus dirombak total, Nurdin harus turun. Ini bukan kerajaan bung," kata Alex Dasmasela (40), kordinator suporter Persipura asal Papua.

Alex datang jauh-jauh dari Jayapura.  Menyeberangi lautan dan mengangkasa di atas ratusan pulau yang membujur dari pulau besar Papua, sampai Kepulauan Seribu, hingga akhirnya tiba di Jakarta.

Bersama 250 orang rekannya dari Papua, Alex bergabung dalam satu unjuk rasa besar demi apa yang dia dan rekan-rekannya sebut "terwujudnya sepakbola Indonesia yang bersih."

Alex bergabung dengan orang dari Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan lainnya di kantor pengurus pusat PSSI di Gelora Bung Karno, Jakarta.

Selama di Jakarta, bersama sebagian dari ratusan kawannya dari Papua, Alex tinggal di Mes Papua di Jakarta.

Alex bergerutu, seluruh pengurus PSSI harus diganti karena dianggapnya sebagai biang keladi dari kian terpuruknya prestasi sepakbola nasional.  Semenjak Nurdin berkuasa, katanya, sepakbola Indonesia telah begitu dimonopoli.

"Kami akan tetap demo di Jakarta hingga Nurdin Halid diturunkan," sumpahnya.

Sejak Selasa lalu, para demonstran telah menyegel kantor PSSI dengan menggembok pintunya.

Tekad serupa Alex diikrarkan oleh para pendukung PSMS Medan, diantaranya Bara Sitompul (33).

Mengenakan ikat kepala merah bertuliskan "Revolusi PSSI", Bara berujar keras, "Saya mau revolusi di tubuh PSSI."

Ia menilai Nurdin tidak lagi selaras dengan kepentingan sepakbola nasional karena dia bukan orang yang berlatarbelakang sepakbola dan tak paham main sepakbola.

Kekalahan Tim Praolimpiade dari Turkmenistan Rabu kemarin, disebut Bara sebagai buah buruk dari kepemimpinan Nurdin di PSSI.

Sementara, dengan mengangkat spanduk bertuliskan "Inul Dukung Revolusi PSSI, Dayat Sakera bersumpah tak kalah militannya. "Saya rela berdemo di sini, niatnya cuma saya, turunkan Nurdin Halid," katanya.

Dayat adalah lelaki berusia 30 tahun dan salah seorang dari ratusan lelaki asal Pasuruan, Jawa Timur, yang juga berniat menggelar demonstrasi menurunkan Nurdin Halid.

Katanya, dia dan ratusan suporter Sakera Mania asal Pasuruan baru saja tiba di Jakarta dengan menggunakan bus yang dibiayai mereka sendiri.  Begitu tiba di Jakarta, mereka langsung bergabung dengan suporter dari daerah lain di Gelora Bung Karno.

Dayat yang berprofesi wiraswastawan ini bercerita, mereka adalah kloter pertama gelombang suporter Pasuran berjumlah 150 orang. Mereka ini rela meninggalkan pekerjaan demi bersihnya persepakbolaan Indonesia.

Dia mengungkapkan masih ada tiga kloter lagi yang segera menyusul mereka ke Jakarta. Mereka sendiri akan bermalam di sekitar stadion terbesar Indonesia itu.

Ia mengatakan apa yang mereka maksud dengan revolusi di PSSI itu adalah merombak total PSSI dengan memberi tempat kepada tokoh-tokoh yang paham sepakbola dan jejak rekam bersih untuk memimpin PSSI.

"Ini bukan momentum, tetapi sudah saatnya sepakbola kita bersih," ujarnya.

Kordinator suporter Jakmania Kemayoran, Jakarta Pusat, Adri Amin, menimpali, dengan mengatakan PSSI harus dirombak agar institusi itu lebih maju dan lebih bagus dalam membina sepakbola Indonesia.

Mereka tidak sedang berpolitik, pun tidak sedang memanfaatkan keadaan atau mengail di air keruh. Karena hampir seluruh dari mereka penggila bola dan sekaligus pecinta sepakbola nasional, maka mereka hampir selalu bilang ini adalah "demi sepakbola nasional yang bersih."

Mereka mungkin bukan elite, dan tidak paham aturan-aturan berorganisasi, tapi mereka sangat paham bahwa sepakbola --seperti juga semua cabang olahraga-- seharusnya menjunjung sportivitas dan kebersihan prilaku.  

Bagi mereka, bidang kehidupan lain --apalagi politik-- boleh saja kotor, tetapi tidak untuk sepakbola. Oleh karena itu, mereka sangat ogah didomplengi siapapun, sampai-sampai banyak dari mereka yang membiayai sendiri untuk sampai ke Jakarta.

"Perjuagan kami murni dan kami tidak dibayar," kata Susilo, anggota bonekmania asal Jawa Timur yang sejak Selasa ikut menduduki Gelora Bung Karno.

Susilo marah besar ketika siang tadi terjadi bentrok antarsuporter. Dia menuduh provokator telah memicu bentrok dalam upaya membuat rusuh dan memburukkan revolusi damai di PSSI.

Berulangkali Susilo meyakinkan bahwa dia dan rekan-rekannya yang berjumlah sekitar 300 orang itu datang jauh-jauh ke Jakarta, murni untuk bersihnya sepakbola Indonesia.

Susilo dan 300 rekannya itu, berkumpul bersama ratusan pecinta sepakbola lainnya dari berbagai daerah di pintu X, depan kantor PSSI, dari Selasa lalu, sampai entah kapan.

Mereka bersumpah tetap bertahan di depan kantor PSSI hingga tuntutan mereka dipenuhi.

Jumlah mereka sendiri terus bertambah, dan mereka semakin kuat menuntut bersihnya persepakbolaan nasional. Mereka akan bertahan lama.

"Demi masa depan sepakbola Indonesia yang lebih baik, kami akan terus demo hingga tuntutan dipenuhi," kata Edi Susilo (27), suporter asal Surabaya.

Mereka bahkan mungkin bisa disebut nekad. Bayangkan lelaki pengangguran asal Pacitan seperti Joko Susilo (25) saja rela berjauh-jauh menyambangi kantor PSSI demi apa yang mereka sebut 'Revolusi PSSI."  

Sejak Selasa lalu, Joko menumpang sana sini, entah di tempat sanak keluarganya, atau kenalannya di Jakarta.

"Saya nekat ke Jakarta demi Revolusi PSSI. Yang bawa uang sedikit itu bukan saya saja lho, banyak kok," aku Joko.

Orang seperi Joko itu bukan satu. Jumlahnya malah bertambah dari hari ke hari.

Mereka sudah tidak lagi peduli dengan bekal hidup yang sedikit atau di mana mereka harus tidur.  "Ah itu bukan persolan, itu justru bagian dari perjuangkan mewujudkan cita-cita menciptakan sepakbola Indonesia yang bersih," kata Joko.

Apakah tuntutan mereka terpenuhi, kita lihat saja nanti.  (*)

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011