Jakarta (ANTARA) - Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggaraan Pertemuan ke-4 Para Pihak (COP-4) Konvensi Minamata yang akan membahas upaya pengurangan dan penghapusan penggunaan merkuri.

Pelaksanaan COP-4 Konvensi Minamata ini dilakukan dalam dua tahap, yakni secara virtual pada 1-5 November 2021 dan pelaksanaan secara tatap muka pada Maret 2022 mendatang di Bali.

Momentum Konvensi Minamata ini dapat menjadi peluang besar Indonesia untuk meningkatkan perannya dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia di kawasan Asia Pasifik dan Asia Tenggara berkaitan dengan pengurangan dan penghapusan penggunaan merkuri.

Indonesia memiliki komitmen besar dalam hal pengurangan dan penghapusan penggunaan merkuri. Pada tahun 10 Oktober 2013 di Kumamoto, Jepang, Pemerintah Indonesia menandatangani Minamata Convention on Mercury (Konvensi Minamata mengenai Merkuri), yang bertujuan melindungi kesehatan manusia dan keselamatan lingkungan hidup dari emisi dan pelepasan merkuri serta senyawa merkuri yang diakibatkan oleh aktivitas manusia.

Empat tahun setelah penandatangan tersebut, pada 20 September 2017, pemerintahan Presiden Joko WIdodo dengan persetujuan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Nomor II Tahun 2017 tentang Pengesahan Minamata Convention on Mercury.

Undang-Undang Nomor II Tahun 2017 ini disahkan atas pertimbangan tujuan Pemerintah Negara Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Mengingat penggunaan merkuri dari aktivitas manusia berpotensi memberikan dampak serius terhadap kesehatan manusia dan lingkungan hidup, sehingga memerlukan kerja sama antarnegara secara lebih efektif;

Oleh sebab itu Indonesia ikut menandatangani Minamata Convention on Mercury pada 10 Oktober 2013 di Kumamoto, Jepang.

Dalam undang-undang itu dijelaskan merkuri atau yang biasa disebut dengan raksa adalah unsur kimia dengan simbol Hg. Merkuri dan senyawa merkuri merupakan salah satu logam berat yang sangat berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan hidup oleh karena bersifat toksik, persisten, bioakumulasi dan dapat berpindah dalam jarak jauh di atmosfir.

Dengan bantuan bakteri di sedimen dan perairan, merkuri berubah menjadi metil merkuri yang lebih berbahaya bagi kesehatan karena masuk dalam rantai makanan.

Pada tahun 2001, United Nations Environment Programme (UNEP) telah melakukan kajian global tentang merkuri dan senyawa merkuri terkait dengan aspek dampak kesehatan, sumber, transportasi dan peredaran serta perdagangan merkuri, juga teknologi pencegahan dan pengendalian merkuri.

Berdasarkan hasil kajian tersebut UNEP menyimpulkan bahwa diperlukan tindakan/upaya internasional guna menurunkan risiko dampak merkuri terhadap kesehatan manusia dan keselamatan lingkungan hidup dari lepasan merkuri dan senyawa merkuri.

Dalam rangka mengendalikan merkuri secara internasional, UNEP menyelenggarakan Goueming Council (GC) pada tahun 2009 yang menghasilkan Resolusi 25/5 tentang Pembentukan Intergovernmental Negotiating Committee (INC) on Legally Binding Instrument of Mercury yang bertujuan untuk membentuk aturan internasional yang mengikat tentang pengaturan merkuri secara global.

Dalam proses penyusunannya, Indonesia turut berperan aktif dalam INC, mulai dari INC-1 pada tahun 2010 di Stockholm hingga INC-5 pada tahun 2013 di Jenewa yang menyetujui substansi Konvensi dan menyepakati nama Konvensi adalah "Minamata Convention on Mercury" atau Konvensi Minamata mengenai Merkuri.

Konvensi Minamata mengatur pengadaan dan perdagangan merkuri dan senyawa merkuri, termasuk di dalamnya pertambangan merkuri, penggunaannya sebagai bahan tambahan di dalam produk dan proses produksi, pengelolaan merkuri di Pertambangan Emas Skala Kecil (PESK), pengendalian emisi dan lepasan merkuri dari industri ke udara, air dan tanah, penyimpanan stok/cadangan merkuri dan senyawa merkuri sebagai bahan baku/tambahan produksi, pengelolaan limbah merkuri dan lahan terkontaminasi merkuri, serta kerja sama internasional dalam pengelolaan bantuan teknis, pendanaan dan pertukaran informasi.

Konvensi Minamata disepakati di Kumamoto, Jepang pada tanggal 10 Oktober 2013 dan Indonesia merupakan salah satu Negara yang menandatangani perjanjian internasional ini.

Salah satu manfaat mengesahkan Konvensi Minamata adalah memberikan rasa aman dan menjaga kesehatan serta melindungi sumber daya manusia generasi yang akan datang akibat dampak negatif merkuri.

Indonesia perlu mengambil peran lebih besar dalam berkontribusi meningkatkan kualitas sumber daya manusia di kawasan Asia Pasifik dan Asia Tenggara melalui penguranagan atau penghapusan penggunaan merkuri.

Baca juga: Presiden minta penanganan soal merkuri dilakukan dengan dengan cepat

Rencana Aksi Nasional
Guna meneguhkan peran dan kontribusi Indonesia dalam pengurangan dan penghapusan penggunaan merkuri, Presiden Jokowi menandatangani Peraturan Presiden tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri (RAN-PPM) pada tahun 2019.

Dengan pertimbangan bahwa merkuri merupakan bahan berbahaya dan beracun yang tahan urai dan dapat terakumulasi dalam makhluk hidup, pemerintah memandang diperlukan pengaturan penggunaannya agar tidak memberikan dampak negatif bagi kesehatan manusia dan lingkungan hidup.

Atas pertimbangan itu, pada 22 April 2019, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 21 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri.

Disebutkan dalam Perpres tersebut Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri memuat strategi, kegiatan, dan target pengurangan dan penghapusan merkuri, yang diprioritaskan pada bidang manufaktur, energi, pertambangan emas skala kecil dan kesehatan.

Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri dilaksanakan dalam periode waktu tahun 2018 sampai dengan tahun 2030, dimana RAN-PPM tahun 2018 adalah data dasar untuk menghitung keberhasilan RAN-PPM.

Menurut Perpres tersebut, strategi pengurangan merkuri dilakukan melalui:

a. Penguatan komitmen, koordinasi, dan kerjasama antar kementerian/lembaga pemerintah non kementerian terkait;
b. Penguatan koordinasi kerjasama antar pemerintah pusat dan daerah;
c. Pembentukan sistem informasi;
d. Penguatan keterlibatan masyarakat melalui komunikasi, informasi, dan edukasi;
e. Penguatan komitmen dunia usaha dalam pengurangan Merkuri;
f. Penerapan teknologi alternatif ramah lingkungan.

Adapun strategi penghapusan merkuri dilakukan melalui:
a. Penguatan komitmen, koordinasi, dan kerjasama antar kementerian/lembaga pemerintah non kementerian terkait;
b. Penguatan koordinasi kerjasama antar pemerintah pusat dan daerah;
c. Peningkatan kapasitas kepemimpinan, kelembagaan, dan sumber daya manusia dalam penghapusan Merkuri;
d. Pembentukan sistem informasi;
e. Penguatan keterlibatan masyarakat melalui komunikasi, informasi, dan edukasi;
f. Penerapan teknologi alternatif pengolahan emas bebas Merkuri;
g. Pengalihan mata pencaharian masyarakat lokal/tempatan; dan
h. Penguatan penegakan hukum.

Target-target pengurangan dan penghapusan merkuri, menurut Perpres tersebut, meliputi pengurangan Merkuri sebesar 50 persen dari jumlah merkuri sebelum adanya kebijakan RAN-PPM di tahun 2030 untuk bidang prioritas manufatur serta 33,2 persen dari jumlah merkuri sebelum adanya kebijakan RAN-PPM di tahun 2030 untuk bidang prioritas energi.

Sedangkan target penghapusan merkuri yakni sebesar 100 persen dari jumlah merkuri sebelum adanya kebijakan RAN-PPM di tahun 2030 untuk bidang prioritas pertambangan emas skala kecil dan 100 persen dari jumlah merkuri di tahun 2020 untuk bidang kesehatan.

Baca juga: RI perjuangkan percepatan penghapusan merkuri di negara berkembang

Peran Indonesia
Kini bertepatan dengan momentum sebagai tuan rumah COP-4 Konvensi Minamata, Indonesia menyampaikan bahwa Konvensi Minamata perlu lebih adaptif dan tangkas dalam merespon berbagai tantangan dan permasalahan lingkungan global.

Selain itu Konvensi Minamata perlu berpikir jauh ke depan, meski usia konvensi tergolong masih muda.

Dalam pembukaan COP-4 Konvensi Minamata secara virtual, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya Bakar, sebagai representatif Pemerintah Indonesia menyampaikan bahwa Indonesia telah melakukan berbagai upaya dalam menangani permasalahan akibat penggunaan dan emisi merkuri.

Upaya tersebut dilakukan dengan berpedoman pada Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri (RAN PPM), yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 21 tahun 2019.

Sejak implementasi RAN PPM dilakukan, Indonesia telah berhasil menurunkan penggunaan merkuri sebanyak 374,4 kg di sektor industri lampu dan baterai, mengendalikan 710 kg emisi merkuri dari pembakaran pembangkit listrik tenaga uap yang menggunakan batubara sebagai sumber energinya, serta mengurangi 4.700 kg merkuri pada sektor kesehatan melalui penghapusan dan penarikan alat kesehatan bermerkuri dari fasilitas kesehatan.

Khusus untuk sektor Pertambangan Emas Skala Kecil (PESK), melalui pelarangan penggunaan merkuri pada PESK dan pembangunan fasilitas pengolahan emas non-merkuri, jumlah penggunaan merkuri yang berhasil diturunkan mencapai 12,4 ton.

Menurut Menteri LHK, upaya ini juga diikuti dengan pelarangan impor dan distribusi merkuri kepada para penambang emas skala kecil, mengembangkan teknologi pengolahan emas tanpa merkuri yang lebih efektif dan ekonomis, serta pemberdayaan ekonomi masyarakat berbasis kearifan lokal melalui upaya alih mata pencaharian bagi penambang.

Lebih jauh, sebagai upaya antisipasi terhadap tantangan pencemaran merkuri di masa depan, Indonesia juga telah membangun laboratorium merkuri dan metrologi lingkungan, guna mendukung program pengurangan dan penghapusan merkuri melalui pengujian dan penelitian.

Kedepannya, menurut Menteri LHK, fasilitas laboratorium ini akan menjadi salah satu “centre of excellence of mercury” tidak hanya di regional Asia Tenggara, tetapi di Asia Pasifik.

Harapannya, dengan berbagai upaya holistik yang telah dan akan dilakukan, Indonesia bisa terbebas dari merkuri pada tahun 2030.

Dirjen Pengelola Sampah Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) sekaligus Presiden COP-4 Konvensi Minamata, Rosa Vivien Ratnawati mengatakan terkait penyelenggaraan COP-4 Konvensi Minamata, Presiden Jokowi sangat memberikan perhatian dalam upaya perlindungan kesehatan manusia dan pemulihan kondisi lingkungan yang tercemar akibat merkuri.

Presiden Jokowi menekankan upaya tersebut harus dilakukan dengan langkah-langkah cepat, terlebih Indonesia menjadi salah satu negara yang telah menandatangani dan meratifikasi Konvensi Minamata.

Menjadi tuan rumah COP-4 Konvensi Minamata merupakan salah satu perwujudan atas pesan Presiden Jokowi tersebut dalam aspek diplomasi lingkungan hidup Indonesia di tingkat global.

Melalui momentum COP-4, Indonesia akan mampu dan menang dalam diplomasi tingkat global serta menunjukkan keseriusaannya dalam penanganan merkuri.

Sebagai tuan rumah sekaligus presidensi COP-4 Konvensi Minamata merupakan peluang besar bagi Indonesia untuk mengangkat perannya dalam diplomasi lingkungan, tidak hanya di tingkat regional tetapi hingga tingkat global.

Presidensi untuk COP-4, membuka kesempatan bagi Indonesia untuk mengusulkan instrumen pendukung yang akan melengkapi upaya penghapusan merkuri di tingkat global.

Indonesia akan memanfaatkan momentum tersebut dengan mengusulkan sebuah deklarasi politik non-binding atau tidak mengikat untuk mengajak seluruh negara pihak bersama-sama melawan perdagangan ilegal merkuri secara global.

Deklarasi ini diberi nama Bali Declaration on Combating Mercury Ilegal Trade of Mercury, yang disebut "Deklarasi Bali", pada penyelenggaraan COP-4 tahap kedua secara tatap muka di Bali Maret 2022 mendatang.

Di tingkat regional Asia Pasifik, sebagai presidensi untuk COP-4 Konvensi Minamata, Indonesia juga memimpin dalam jalannya persidangan. Di samping itu, Indonesia juga tidak berhenti untuk mengarusutamakan usulan Deklarasi Bali kepada seluruh negara pihak di regional Asia Pasifik dan Asia tenggara.

Adapun upaya-upaya yang dilakukan oleh Indonesia untuk memaksimalkan pengarusutamaan Deklarasi Bali pada momentum COP-4 Konvensi Minamata ini diantaranya memanfaatkan setiap kesempatan yang diberikan oleh Sekretariat Konvensi Minamata untuk menggalang dukungan dan membuka diri menerima masukan dari negara-negara pihak terhadap draf Deklarasi Bali.

Deklarasi bali ini tentu akan menjadi kontribusi nyata Indonesia terhadap proses penghapusan, sekaligus menjadi testimoni kepemimpinan Indonesia di diplomasi lingkungan hidup.

Dengan demikian dapat disimpulkan, kesinambungan peran dan komitmen Indonesia dalam hal pengurangan dan penghapusan penggunaan merkuri sangat jelas terlihat dari waktu ke waktu. Indonesia tentu memiliki peluang besar untuk dapat berperan dalam hal peningkatan kualitas sumber daya manusia di kawasan Asia Pasifik dan Asia Tenggara melalui pengurangan dan penghapusan penggunaan merkuri.

Baca juga: Menteri LHK: Konvensi Minamata terus beri solusi terkait isu merkuri

Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021