Dengan karakteristik yang hampir bebas karbon, dan mampu menghasilkan daya besar terus menerus maka PLTN merupakan salah satu solusi untuk mengatasi pemanasan global.
Jakarta (ANTARA) - Profesor riset di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Djarot S Wisnubroto mengatakan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) menjadi salah satu solusi untuk mengatasi pemanasan global karena merupakan sumber energi listrik yang rendah emisi karbon.

"Dengan karakteristik yang hampir bebas karbon, dan mampu menghasilkan daya besar terus menerus maka PLTN merupakan salah satu solusi untuk mengatasi pemanasan global," kata Djarot dalam Webinar Nasional Prof Talk: Siapkah Energi Nuklir Mendukung Net Zero Emission Indonesia? di Jakarta, Selasa.

Selain emisi rendah karbon, peneliti ahli utama di Organisasi Riset Tenaga Nuklir BRIN itu menuturkan PLTN juga bersifat bukan intermittent, yang berarti pasokan energi stabil.

Baca juga: Konferensi PBB: Bahan bakar fosil pemicu pemanasan global

Kemudian, harga listrik yang dihasilkan dari PLTN juga kompetitif, dan harga bahan bakar tidak mempengaruhi harga listrik.​​​​​​​

Dengan membandingkan Jerman, Denmark, Prancis, dan Swedia, Djarot menuturkan negara yang emisi karbonnya paling tinggi per kWh adalah Jerman, yakni sebesar 311 gram, diikuti dengan Denmark yang sebesar 109 gram, Prancis yang sebesar 51 gram, dan yang paling sedikit adalah Swedia dengan 9 gram.

Ternyata dalam bauran energi listrik di Prancis dan Swedia, sebagian diisi oleh nuklir dan hidro. Prancis mempunyai 67 persen energi bergantung pada PLTN dan 13 persen pada pembangkit listrik berbasis hidro.

Swedia mempunyai sumber energi listrik yang 39 persen bergantung pada nuklir dan 39 persen pada hidro.

Baca juga: Macron: Prancis akan bangun beberapa reaktor energi nuklir

Jerman memiliki 41,4 persen sumber energi yang bergantung pada energi terbarukan, dan 26,2 persen pada batu bara, dan 11,7 persen pada PLTN.

Sementara itu Denmark memiliki 78 persen sumber energinya bergantung pada energi terbarukan, tapi masih menggunakan batu bara.

Dengan melihat komposisi bauran energi di empat negara tersebut, Djarot mengatakan Jerman dan Denmark menghasilkan emisi karbon lebih tinggi dibanding Prancis dan Swedia. Sementara sumber energi berbasis nuklir dan hidro menjadi faktor signifikan dalam mengurangi emisi karbon.

Di sisi harga listrik euro per kWh, paling mahal adalah Jerman, diikuti Denmark dan Prancis, dan paling murah adalah Swedia.

Baca juga: KLHK: Teknologi nuklir dapat atasi polusi plastik

"Itulah kenapa banyak negara mulai mengatakan mari kita coba mulai menggunakan nuklir, tapi nuklir tantangannya adalah membangunnya lama sehingga kebijakan di banyak negara yang sudah punya PLTN perpanjang saja usia PLTN menjadi 80 tahun, yang tadinya 40 dan 60 tahun," ujar Djarot.
 

Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2021