Jakarta (ANTARA) - Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai Pertemuan Para Pihak dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-26 (The 26th UN Climate Change Conference of the Parties/COP26) membawa kemajuan bagi upaya transisi energi di Indonesia.

Direktur Eksekutif ESR Fabby Tumiwa dalam konferensi pers yang diikuti via daring dari Jakarta, Kamis, mengatakan bahwa pada hari kedua konferensi perubahan iklim yang berlangsung di Glasgow, Skotlandia, tersebut Pemerintah Indonesia dan Filipina menyetujui mekanisme inisiatif transisi energi bersama Asian Development Bank (ADB).

Inisiatif transisi energi tersebut mencakup kemitraan pendanaan untuk memensiunkan dini pembangkit listrik berbahan bakar batu bara di tiga negara, Indonesia, Filipina, dan Vietnam.

Menurut Fabby, Pemerintah Indonesia dan Filipina sudah mengumumkan komitmen untuk menjalankan transisi dalam pemanfaatan energi tersebut. Hanya Vietnam yang belum mengumumkannya.

Ia menjelaskan, berdasarkan kajian awal ADB sekitar 9 Giga Watt kapasitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara bisa dipensiunkan dini dalam 10 hingga 15 tahun dan pemerintah sedang mengkaji pemensiunan satu sampai tiga PLTU sebelum 2025.

"Ini menarik. Harapannya emisi dari kelistrikan bisa turun, tapi saat yang sama bisa menaikkan kapasitas energi baru terbarukan," kata dia.

Fabby menjelaskan pula bahwa selama COP26 Indonesia bersama 45 negara dan lebih dari 100 organisasi menandatangani pernyataan mengenai transisi pembangkit listrik.

Pernyataan itu, menurut dia, mencakup klausa peningkatan penggunaan energi baru terbarukan dan energi bersih, penerapan teknologi dan kebijakan yang memungkinkan pelaksanaan transisi energi dalam dekade ini, serta penguatan upaya domestik dan internasional dalam menyediakan pendanaan untuk transisi energi yang inklusif.

Menurut Fabby, Indonesia menolak klausa ketiga yang mengharuskan penghentian penerbitan izin baru maupun konstruksi baru PLTU berbahan bakar batu bara.

Alasan penolakan klausa tersebut, menurut dia, masuk akal mengingat pemerintah tidak bisa menghentikan begitu saja kontrak yang sudah berjalan dan sudah masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2021-2030.

"Kalau dibatalkan ada konsekuensi legal dan finansial dari pengalaman yang dulu, yang seperti ini yang ingin dihindari," katanya.

"(Kementerian) ESDM mendukung pernyataan itu namun memberikan catatan di poin tiga. Tapi intinya ini sebuah kemajuan ya, karena dari awal tahun ini saja tidak ada rencana sama sekali untuk moratorium PLTU baru di luar yang 35 Mega Watt," ia menambahkan.

Ia mengatakan, Pemerintah Indonesia juga sudah menandatangani Ikrar Metana Global yang ditujukan untuk memangkas emisi metana global setidaknya 30 persen pada 2030.

Indonesia, kata Fabby, termasuk salah satu kontributor besar emisi metana dari kegiatan pertambangan minyak dan gas, pertambangan batu bara, pertanian, dan sampah.

Dia secara umum mengapresiasi komitmen pemerintah mengurangi emisi gas rumah kaca, namun menyayangkan Presiden Joko Widodo tidak menyampaikan upaya Indonesia mengurangi emisi dari sektor energi dalam pidatonya di konferensi perubahan iklim.

"Padahal sebagai statement (pernyataan) ini menurut kami ambisius," katanya.

Baca juga:
Konferensi PBB: Bahan bakar fosil pemicu pemanasan global
COP26 gagal sepakati pendanaan baru untuk kerusakan akibat iklim

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2021