Jakarta (ANTARA) - Tanpa hambatan berarti, pengajuan Jenderal Andika Perkasa sebagai calon Panglima TNI di DPR berjalan sesuai prediksi banyak analis.

Usai disetujui parlemen, pada pekan lalu, Presiden Joko Widodo melantik Andika sebagai pengganti Marsekal Hadi Tjahjanto yang sudah memasuki usia pensiun.

Sesuai ketentuan Pasal 71 UU No. 34/2004 tentang TNI, usia maksimal pensiun untuk perwira adalah 58 tahun. Dengan demikian, secara normatif, Andika akan memimpin TNI selama 13 bulan.

Berbeda dari kandidat Panglima TNI dalam proses seleksi sebelumnya, Andika tidak memberikan paparan secara detil. Bahkan, tanya jawab fit and proper test yang biasanya dilakukan terbuka dengan durasi panjang, kali ini dilakukan tertutup dan relatif singkat. Akibatnya, publik tidak mendapatkan gambaran lebih rinci perihal apa yang akan dilakukan Andika saat memimpin TNI.

Dalam fit and proper test calon Panglima TNI di Komisi I DPR, Andika memaparkan 8 fokus implementasi program kerja saat memimpin organisasi angkatan bersenjata.

Baca juga: Haedar Nashir minta Jenderal Andika Perkasa tingkatkan integritas TNI

Mereka adalah penguatan pelaksanaan tugas TNI yang didasarkan UU, penguatan operasi pengamanan perbatasan, peningkatan kesiapsiagaan satuan TNI, peningkatan operasional siber, sinergisitas intelijen di wilayah konflik, pemantapan interoperabilitas trimatra terpadu, penguatan integrasi penataan organisasi dan diplomasi militer.

Sayangnya, dari delapan fokus tersebut, ada satu topik krusial TNI yang belum mendapatkan atensi secara serius yaitu membangun sumber daya manusia TNI. Ada dua alasan yang menjadikan isu SDM TNI layak mendapatkan perhatian Andika.

Pertama, visi sentral pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin adalah membangun SDM. Dengan demikian, inisiatif pembenahan pengelolaan SDM TNI merupakan bentuk nyata dukungan visi pemerintah.

Kedua, dalam beberapa tahun terakhir, fenomena penumpukan perwira menengah dan tinggi di tubuh militer sudah semakin marak terjadi. Jika tidak serius ditangani maka akan sangat mungkin terjadinya masalah lain termasuk menurunkan moral prajurit.

Karena secara normatif hanya bertugas selama 13 bulan dan kompleksitas masalah serta dinamika ancaman yang dihadapi TNI, penting kiranya Andika membuat skala prioritas program dalam memimpin TNI.

Baca juga: KPK berharap Jenderal Andika lanjutkan visi antikorupsi di tubuh TNI

Mengingat isu SDM TNI sangat strategis, Andika hendaknya memulai untuk mengambil inisiatif perbaikan pengelolaan personel, sekalipun topik tersebut luput dijadikan fokus.

Sudah semestinya fokus implementasi penataan organisasi TNI tidak berhenti pada penguatan tata kelola, revitalisasi dan reaktualisasi struktur dan organisasi. Penyiapan blue print pembangunan SDM TNI yang juga mengadopsi pengelolaan organisasi modern dan profesional menjadi hal yang tidak bisa ditunda. Apalagi, jika merujuk UU TNI, ketentuan perihal pembinaan karir TNI berada pada Panglima TNI.

Dengan bekerja sama dengan tiga kepala staf yang ada di tubuh TNI, penataan dan perbaikan pola karir prajurit mendesak dilakukan untuk menyelesaikan problem penumpukan perwira di kepangkatan tertentu.

Perbaikan mendasar ini menjadi penting untuk ikut menjaga komitmen, konsistensi dan kontinuitas dari program penataan SDM TNI. Hal ini juga guna menghindari adanya unsur favoritism ataupun patron dalam pengelolaan karir prajurit.

Penerapan merit based-system dalam karir prajurit hendaknya juga dapat secara konsisten dan kontinyu diterapkan. Di sisi lain, penting juga bagi Andika untuk membuka ruang apresiasi bagi prajurit TNI yang memiliki pendidikan pengembangan umum serta berprestasi dari kampus terbaik dunia seperti Inggris, Amerika Serikat dan lain-lain untuk dapat berkontribusi nyata membangun TNI.

Baca juga: Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa prioritaskan pembenahan internal

Tentu saja, mengatasi penumpukan perwira yang terjadi di hampir semua matra tidak mudah. Dibutuhkan kesepakatan bersama dan kerja sama antara Panglima TNI dan para Kepala Staf Angkatan untuk membuat kebijakan dan strategi dalam menyelesaikan penumpukan perwira. Untuk itu, pendekatan dan terobosan inovatif selain memekarkan organisasi yang punya potensi melanggar Pasal 47 ayat 2 UU TNI yang hanya memberi ruang prajurit aktif menduduki jabatan di sepuluh pos yakni Kemenko Polhukam, Kementerian Pertahanan, Sekretaris Militer Presiden, BIN, BSSN, Lemhannas, Wantannas, Basarnas, BNN, dan Mahkamah Agung.

Patut diingat, ide penambahan usia pensiun khusus Panglima TNI ataupun Perwira Tinggi menjadi 60 tahun perlu dihindari. Sebab, klausa tersebut akan bernuasa kuat adanya unsur diskriminasi mengingat Pasal 71 UU TNI hanya membuat tiga kategori, yakni tamtama, bintara dan perwira. Selain itu, penambahan usia pensiun akan menjadikan regenerasi di tubuh TNI akan berjalan sangat lambat dan menambah kompleks masalah penumpukan perwira.

Untuk diketahui, lonjakan jumlah perwira nonjob mulai terlihat sejak tahun 2009 atau lima tahun setelah UU TNI diketok palu. Kondisi ini terjadi karena para pengambil keputusan tidak menyiapkan skema kebijakan turunan dari perpanjangan usia pensiun. Penumpukan perwira tidak bisa hanya sekadar diatasi dengan penambahan masa dalam pangkat dan memekarkan organisasi. Kita tidak membutuhkan organisasi TNI yang memiliki struktur birokrasi sangat besar. Sebab, kondisi ini akan menyulitkan TNI untuk adaptif dengan perkembangan zaman dan dinamika ancaman.

Jelas bahwa, performa Jenderal Andika Perkasa dinanti dalam memimpin TNI dalam merespons sejumlah tantangan lain seperti dinamika keamanan domestik dan regional serta memenuhi target pembangunan kekuatan pertahanan di tengah pandemi. Dengan dukungan bulat DPR tentu saja hal tersebut merupakan modal politik yang kuat untuk memimpin TNI ke depan. Dukungan politik di DPR sangat dibutuhkan mengingat pelaksanaan tugas TNI, baik OMP maupun OMSP, mensyaratkan keputusan politik negara.

Tentu saja, publik menaruh harapan besar bahwa semua inisiatif perbaikan dan implementasi kebijakan TNI ke depan hendaknya selalu diletakkan dalam kerangka peningkatan efektivitas pelaksanaan tugas TNI, yang dikelola dan dilakukan secara profesional serta berdasarkan peraturan perundang-undangan.

*) Anton Aliabbas, Kepala Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE), Jakarta

Copyright © ANTARA 2021