Penadah yang sebenarnya kini masih aktif beroperasi karena dilindungi oleh oknum aparat.
Pekanbaru (ANTARA) - Masih maraknya praktik mafia pencurian minyak sawit mentah (CPO) di Kota Dumai ditenggarai berawal dari kasus simbiosis mutualisme. Ada pihak yang saling terkait dan membutuhkan satu sama lain.

Tidak mungkin kasus pencurian CPO ini akan berdiri sendiri atau hanya sampai ke tangan sopir saja. Jika tidak ada penampung CPO ilegal, lalu sopir mau jual kemana CPO itu? Katakan ada penadah dan jika aparat mau bekerja serius, penadah bisa ditangkap cukup banyak sekaligus menutup peluang terjadinya pencurian komoditas nonmigas itu.

Bahkan, menurut pakar Ekonomi Universitas Riau Dr. Hendro Ekwarso, M.Si., peluang pencurian CPO cukup besar mulai dari CPO berangkat dari pabrik kelapa sawit (PKS) menuju titik kumpul Dumai cukup besar. Apalagi, jarak antarpabrik dengan Pelabuhan Dumai cukup jauh dan waktunya relatif cukup lama. Karena ada ruang, ada jarak, ada kesempatan, kemudian ditambah lagi ada dukungan dari pihak lain di luar sopir.

Mirisnya lagi, aparat penegak hukum masih belum serius bekerja. Ketika pers ingin mengonfirmasi kasus pencurian CPO ilegal itu, justru terkesan tertutup, ini keliru. Apakah mereka takut salah bicara? Seperti yang pernah dilakukan ANTARA mengonfirmasi kepada Kapolres Dumai dan Danlanal Dumai terkait dengan tindakan mereka ke depan terhadap mafia praktik pencurian CPO itu. Mereka justru belum bersedia.

Dua institusi ini sangat berperan penting, apalagi kegiatan mafia pencurian CPO saat lewat menuju tempat pembongkaran di sekitar Sungai Dumai dan di sekitar pantai tidak jauh dari pos penjagaan. Mereka bahkan harus melewatinya seperti di sungai tersebut.

Semestinya memang pencurian itu tidak akan terjadi karena sudah ada pengamanan, seperti pemberian segel pada keran mobil truk tangki CPO berikut dilengkapi dengan langkah-langkah pengamanan kedua dari pabrik menuju titik kumpul di Dumai.

Baca juga: Harga CPO Jambi anjlok, sentuh di bawah Rp14.000 per kilogram

Praktik mafia pencurian CPO, menurut Hendro, adalah persoalan cukup serius dan berdampak ganda telah merugikan Indonesia. Contoh kasus CPO dicampur solar, lalu ekspor Riau di-reject di Eropa dan dibalikkan lagi ke Indonesia. Yang rugi pengusaha sawit juga, penerimaan negara tidak ada, pada akhirnya fatal bagi rakyat dan petani sawit.

Jika pasar menolak produksi CPO dari Riau, akan terjadi kemiskinan massal terhadap 2.000.000 petani sawit Riau sehingga perlu ketegasan pimpinan institusi penegak hukum menindak masing-masing anggotanya yang terlibat itu.

Hendro pun menekankan bahwa semua pihak mulai dari Pemkot Dumai, Lanal, hingga Polres Dumai harus berangkat dari sportivitas, kejujuran, dan objektivitas, jika serius ingin memberantas pratik mafia pencurian CPO ini.

Harus ada betul-betul kemauan kuat, bukan hanya pemerintah daerah, melainkan juga TNI AL (unsur pusat), Polri (unsur pusat), dan Bea Cukai (unsur pusat). Artinya, Forkompida Kota Dumai mempunyai hubungan vertikal, sedangkan Wali Kota Dumai memiliki keterbatasan.

Berdasarkan penuturan Rm (53), dia menyatakan kapok ikut terlibat sebagai "broker" atau calo dalam praktik mafia pencurian CPO. Dia dihukum bersalah dan menjalani 1 tahun penjara. Rm tergiur menjadi calo CPO karena pendapatannya pada usaha sebelumnya sebagai pemasok logistik/ship chandler (penyedia jasa logistik) buat kapal asing sudah mulai menurun karena banyak pesaing.

Saat itu dia hanya bisa mendapat CPO hingga 2 ton. Akan tetapi, setahun sebagai perantara CPO, dia lantas ditangkap. Diakuinya banyak yang dilihatnya bahwa praktik mafia pencurian CPO di laut ini telah "dilindungi" oleh oknum AL dan Polairud sehingga pencurian makin mulus beroperasi.

"Saya tidak mendapatkan keadilan hukum sebab saat ditangkap dan disidangkan saya justru dituduh sebagai penadah, padahal penadah yang sebenarnya kini masih aktif beroperasi karena dilindungi oleh oknum aparat yang terlibat itu. Penadah yang memodali aksi pencurian, termasuk uang keamanan bagi oknum aparat tersebut," katanya.

Menurut Rm, biasanya kalau CPO yang didapat dalam jumlah kecil itu berasal dari sisa-sisa setelah bongkar yang telah beku di dalam palka kapal tongkang yang tidak memiliki alat pemanas. Beda kalau CPO curian dalam jumlah besar, biasanya didapat dari kapal tanker yang masih dalam posisi labuh di perairan dan belum bongkar muatan di pelabuhan.

Itu kalau dicuri dari mobil tangki sebagai alat angkutnya. Kalau dari kapal, biasanya dicampur dengan air atau mereka punya cara sendiri untuk mengelabui pihak perusahaan yang menerimanya.

Kerugian tetap pada perusahaan kapal sebagai transporter. Pihak perusahaan sebagai penerima CPO hanya membayar berapa yang mereka terima di pelabuhan. Adapun dampak dari praktik mafia pencurian CPO ini cukup besar. Selain kerugian penerimaan pajak, juga citra Indonesia pada perdagangan internasional menjadi buruk karena kualitas CPO tercemar.

Baca juga: Moeldoko: Uni Eropa masih butuh kelapa sawit Indonesia

Untuk kasus pencurian komoditas nonmigas Riau ini, pakar hukum pidana Universitas Islam Riau Dr. Zulkarnain Sanjaya, S.H., M.H. berpendapat bahwa aparat penegak hukum harus bersinergi dalam menanggulangi kejahatan tersebut terkait dengan dugaan beberapa instansi yang terlibat secara langsung, mulai TNI AL , polisi, hingga pihak terkait lainnya.

Khususnya pihak yang merasa dirugikan, dia menyarankan mereka untuk segera membuat laporan/pengaduan kepada pihak kepolisian agar penindakannya sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku. Perbuatan tersebut melanggar hukum dan merupakan tindak pidana pencurian.

Untuk kasus pencurian CPO, harus ada laporan dari pihak pengusaha/korban yang merasa rugi. Akan tetapi, memang faktanya korban jarang melaporkan ke kepolisian karena ada anggapan bahwa kalau dilaporkan, kerugian makin besar. Pasalnya, mobil tangki dan CPO akan disita untuk dijadikan barang bukti. Tentu saja pengusaha akan bertambah rugi sehingga kasus serupa jarang sekali sampai ke pengadilan.

"Parahnya praktik mafia pencurian CPO ini punya jaringan dilengkapi dengan penadahnya. Pencurian dan penggelapan CPO makin sulit diberantas karena korban pun merasa tidak dirugikan lantaran setiap pengiriman CPO dihitung ada penyusutan, yang dianggap wajar sehingga penyidik sering kali menghentikan kasus ini," katanya.

Zulkarnain Sanjaya pun mengakui penyidik sering kali menghentikan kasus pencurian CPO ini ketika dirinya pernah menjadi saksi ahli di pengadilan, yang diminta oleh Polairud (Polisi Perairan) Polda Riau.

Sementara itu, di persidangan, pinjam pakai barang bukti perkara tindak pidana sulit dilakukan. Berdasarkan analisis yuridis terhadap penetapan majelis hakim dalam pelaksanaan pinjam pakai barang bukti perkara tindak pidana ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) beberapa studi di pengadilan justru dapat menimbulkan masalah karena pelaksanaan pinjam barang bukti tidak ada landasan hukumnya.

Dikhawatirkan dapat timbulkan masalah karena berdasarkan ketentuan Pasal 46 ayat (1) huruf a KUHAP, justru tidak menjelaskan dasar hukum yang sah pinjam pakai barang bukti, tetapi hanya menjelaskan tentang pengembalian barang bukti atau benda yang disita karena kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi.

Baca juga: Marak praktik truk tangki BBM "kencing di jalan" di Dumai

Jika dikaitkan dengan Pasal 45 KUHAP memberikan pengertian bahwa atas benda sitaan terdiri atas benda yang dapat lekas rusak atau yang membahayakan sehingga tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap atau jika biaya penyimpanan benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi, sejauh mungkin dengan persetujuan tersangka atau kuasanya dapat diambil tindakan untuk dijual lelang.

Jadi, ternyata larangan pinjam pakai barang bukti perkara pidana bukan tanpa alasan yang jelas dan sah menurut hukum. Larangan pinjam pakai barang bukti perkara pidana ini pada hakikatnya mempunyai fungsi untuk menjaga agar barang bukti tersebut dapat untuk menguatkan pembuktian dalam proses persidangan.

Di lain pihak larangan ini juga menjaga integritas dari aparat penegak hukum itu sendiri karena barang bukti yang telah disita secara sah telah menjadi tanggung jawab setiap aparat penegak hukum untuk setiap tingkat pemeriksaan. Dengan demikian, pinjam pakai barang bukti itu sangat rentan terhadap risiko-risiko seperti barang bukti yang dipinjampakaikan itu dipergunakan untuk melakukan tindak pidana lagi.

Miris memang ketika aparat penegak hukum yang memberikan izin pinjam pakai sebagai pihak yang bertanggung jawab atas barang bukti tersebut bisa disangka telah melakukan pembantuan
dalam melakukan tindak pidana seperti yang diatur dalam Pasal 56 KUHP.

Konsekuensi bagi aparat hukum makin berat jika barang bukti perkara pidana tersebut hilang di tangan aparat penegak hukum yang bertanggung jawab atas barang bukti perkara pidana itu tidak dapat mempertanggungjawabkan kehilangan barang bukti tersebut. Maka, aparat penegak hukum tersebut dapat disangka telah melakukan tindak pidana penggelapan barang bukti dan alasan lainnya.

Lalu kapan dan bagaimana kasus pencurian CPO bisa dihentikan? Sepertinya perlu ada aturan baru untuk memberikan kemudahan dalam peminjaman barang bukti, seperti CPO dan mobil tangki bisa kembali dioperasionalkan.

Baca juga: KPK geledah ruang panitia lelang Pemkot Dumai

Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021