Beijing (ANTARA) - Pemerintah Daerah Otonomi Xinjiang menganggap Rancangan Undang-Undang tentang Pencegahan Kerja Paksa Etnis Uighur yang ditandatangani parlemen Amerika Serikat secara umum tidak akan memengaruhi program pembangunan di wilayah barat laut China itu.

"Apa yang disebut RUU Uighur AS itu tidak akan berdampak pada pembangunan di Xinjiang," kata juru bicara Pemerintah Daerah Otonomi Xinjiang Xu Guixiang dalam konferensi pers yang dipantau ANTARA dari Beijing, Sabtu (25/12).

Dalam acara yang digelar secara daring dan luring tersebut, Xu, yang juga Deputi Direktur Jenderal Informasi Publik Partai Komunis China (CPC) Komite Xinjiang, menganggap RUU tersebut menunjukkan sikap AS yang mengintimidasi etnis minoritas Muslim Uighur dengan menggunakan dalih hak asasi manusia.

"RUU tersebut secara serius mendistorsi situasi aktual di Xinjiang. Wilayah ini telah dengan sungguh-sungguh menerapkan undang-undang yang relevan di wilayah tersebut dan secara tegas melarang kerja paksa," tegas Xu.

Jubir Pemerintah Daerah Otonomi Xinjiang lainnya, Elijan Anayat, menambahkan bahwa pihaknya sangat serius menerapkan peraturan ketenagakerjaan untuk memenuhi hak-hak para pekerja di daerahnya.

Baca juga: Intel minta maaf karena boikot produk Xinjiang, China kecam AS

"Pekerja tidak boleh (bekerja) lebih dari 40 jam dalam sepekan sesuai dengan peraturan HAM. Semua karyawan dapat asuransi. Hari libur juga diberikan, termasuk libur hari raya bagi umat Islam, seperti Lebaran Kurban," ujar pejabat yang berlatar belakang etnis minoritas Muslim Uighur itu.

Perusahaan yang tidak memenuhi hak-hak karyawan dianggap telah melakukan pelanggaran serius.

"Semua pekerja di Xinjiang bekerja dengan dibekali surat kontrak kerja," ujar Elijan yang menjabat Wakil Direktur Kantor Informasi Publik Pemerintah Daerah Otonomi Xinjiang.

Hal itu dibenarkan oleh Aishanjang Abdullah, karyawan pabrik tekstil di Prefektur Aksu, Xinjiang.

"Saya senang bisa bekerja di sini dengan penghasilan 6.500 hingga 6.800 yuan (Rp14,5 juta-Rp15,1 juta) per bulan," kata pria Uighur yang sudah empat tahun bekerja di pabrik tekstil itu.

Ablat Wayit, pekerja lainnya di pabrik tekstil Tarim, juga mengaku tidak pernah bekerja tanpa diberi upah.

Baca juga: Xinjiang bantu logistik musim dingin Rp670 M kepada duafa Afghanistan

"Kami tidak pernah dipaksa bekerja. Hasil kerja bisa saya bawa pulang ke desa," tuturnya.

Seperti biasa dalam setiap jumpa pers, otoritas Xinjiang selalu menyertakan warga dari kalangan etnis minoritas Uighur untuk memberikan testimoni.

Selain RUU Uighur, AS sebelumnya juga beberapa kali memberikan sanksi terhadap sejumlah perusahaan di Xinjiang.

Terakhir AS memboikot produk-produk dari Xinjiang dengan dugaan mempekerjakan paksa etnis minoritas Uighur.

Boikot tersebut dibalas China dengan sanksi berupa larangan memasuki wilayah China, Hong Kong, dan Makau kepada empat individu komite urusan agama di AS.

Isu Xinjiang dan Hong Kong terus mengemuka di tengah sengitnya rivalitas kedua negara pemimpin ekonomi dunia itu.

Baca juga: Pelabuhan Xinjiang alami lonjakan ekspor produk Natal
Baca juga: Xinjiang di persimpangan Sabuk Jalan dan Olimpiade Musim Dingin

Pewarta: M. Irfan Ilmie
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2021