Dengan jangka benah ada peluang mendapatkan hak kelola
Jakarta (ANTARA) - Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) Bambang Supriyanto menegaskan bahwa strategi jangka benah untuk menyelesaikan isu ketelanjuran sawit di area perhutanan sosial tidak berarti mendukung sawit baru di dalam kawasan.

Dalam diskusi di Jakarta, Kamis, Dirjen PSKL Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang menjelaskan jangka benah adalah salah satu strategi untuk menyelesaikan isu keterlanjuran sawit milik masyarakat di dalam kawasan termasuk di area perhutanan sosial.

"Untuk masyarakat yang sudah terlanjur masuk dalam kawasan hutan kita betulkan dengan jangka benah. Kemudian ke depan jangan masuk, ini ketelanjuran saja bukan meng-endorse yang baru," ujar Bambang dalam diskusi bertema jangka benah sawit di areal perhutanan sosial dalam rangka Festival Pesona Kopi Agroforestry.

Strategi jangka benah sendiri adalah upaya untuk memperbaiki struktur dan fungsi ekosistem hutan yang terlanjur rusak. Jangka benah adalah waktu yang dibutuhkan untuk mencapai struktur hutan dan fungsi ekosistem yang diinginkan sesuai dengan tujuan pengelolaan.

Baca juga: Jangka benah selesaikan ketelanjuran sawit di perhutanan sosial

Baca juga: KLHK buka lebar ruang partisipasi perempuan dalam perhutanan sosial


Aturan terkait jangka benah terdapat di pasal 117 di Peraturan Menteri LHK Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial.

Upaya restorasi itu diperlukan karena menurut data KLHK dari 3.379.279 hektare sebaran tanaman sawit yang terindikasi dalam kawasan tahun terdapat sekitar 856.560 hektare yang terbangun dalam Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial (PIAPS).

Untuk menjalankan jangka benah maka petani dapat menyusun rencana jangka benah sebagai bagian dari rencana kelola perhutanan sosial. Penanamannya perlu dilakukan melalui agroforestri dan penanaman tanaman kehutanan paling sedikit 100 batang per hektare paling lambat setahun.

Pemilik izin perhutanan sosial dengan ketelanjuran sawit juga tidak boleh melakukan peremajaan kepala sawit dalam masa jangka benah.

Pada kawasan hutan produksi, jangka benah dilakukan dalam waktu satu daur selama 25 tahun sejak masa tanam. Pada kawasan hutan lindung atau hutan konservasi jangka dilakukan dalam jangka waktu satu daur selama 15 tahun sejak masa tanam. Setelah tanaman sawit mencapai masa itu maka akan dibongkar dan ditanami pohon atau tanaman hutan.

"Kita pastikan bahwa di dalam SK persetujuan hutan sosial tidak ada sawit, tidak diperkenankan menanam sawit di dalam kawasan hutan. Tapi kita menyelesaikan yang sudah ada tadi," tegas Bambang.

Pada kesempatan tersebut Ketua Tim Strategi Jangka Benah Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) Hero Marhaento mengatakan dalam periode jangka benah dilakukan upaya agroforestri untuk mengubah monokultur sawit menjadi polikultur.

Beberapa contoh tanaman itu adalah tanaman untuk hasil hutan bukan kayu seperti yang menghasilkan buah. Jadi, ujar Hero, jangka benah bisa dilihat sebagai peluang investasi bukan sebagai sanksi terkait ketelanjuran sawit di dalam kawasan hutan.

"Dengan jangka benah ada peluang mendapatkan hak kelola melalui perhutanan sosial, ini yang akan membuat tenteram perasaan ketika tahu kebun kita di dalam kawasan hutan," jelasnya.

Baca juga: KLHK dorong semua pihak dukung pembangunan mitra perhutanan sosial

Baca juga: KLHK: Perhutanan sosial adalah masa depan kehutanan Indonesia

 

Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2022