Prestasi meraih perunggu di Porcanas Solo ternyata menambah kepercayaan dirinya, bahwa orang yang seperti dirinya ternyata juga masih berguna bagi bangsa dan negara
Solo (ANTARA News) - Saat ini tidak sedikit anggota masyarakat yang memandang kaum defabel atau cacat fisik dengan sebelah mata. Mereka pada umumnya beranggapan bahwa kaum defable itu akan membebani, padahal pandangan itu sebenarnya tidak benar seratus persen. Terlahir sebagai orang cacat tentu bukanlah sebuah keinginan mereka, seperti yang dialami oleh Osrita Muslim, wanita kelahiran Jambi pada 7 November 1966. Putri pasangan Agus Nur Muslim dan Samidar Muslim yang akrab dipanggil Oos ini menderita lumpuh pada kedua kakinya akibat kecelakaan, ketika berusia 10 tahun tertimbun tanah longsor saat bermain di pinggir sungai dekat rumahnya di Jambi. "Waktu itu musibah tanah longsor itu saya tertimbun bongkahan tanah dan hanya kelihatan kepala saya saja," kata Oos ketika ditemui dirumah barunya di Klauran RT1/RW 25, Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. "Dan saat itu ketika orang memberikan pertolongan kepada saya tampaknya badan saya masih tertimbun tanah dan ditarik begitu saja dan tidak digali, akibatnya seperti sekarang ini tulang belakang lumpuh dan saya tidak bisa berjalan dan harus dibantu diatas kursi roda untuk berjalan," katanya. Oos kemudian meneruskan cerita tentang pengalaman pahitnya itu. Setelah berhasil dievakuasi, ia menjalani pengobatan tradisional, tetapi tidak kunjung sembuh. "Ya maklum Mas di Jambi sekitar 1977 itu situasinya tidak seramai sekarang dan juga jarang rumah sakit," katanya. Setelah dilakukan pengobatan tradisional tidak sembuh-sembuh, akhirnya keluarga memutuskan untuk berobat ke Jakarta. Oos mengatakan ketika berobat ke Jakarta bersama orang tuanya, ia dibawa ke RS Fatmawati dan diajarkan hidup mandiri dan tidak boleh menggantungkan diri pada orang lain. Ditempat ini ia mendapat pendidikan yang sangat berharga. Setelah mendapat bekal yang kuat, Oos melanjutkan sekolah lagi di di Sekolah Dasar (SD) Negeri 08 Jakarta. Di sekolah ini ia mendapat ejekan dari teman-temannya, tetapi diterima dengan tabah. Ketika itu ia tinggal di asrama dan mengisi waktu kosong dengan berolahraga. Di asrama disediakan sarana dan prasarana olahraga yang cukup bervariasi. "Saya waktu itu paling senang bermain tenis meja dan basket. Olahraga itu berjalan biasa dan sampai sekarang masih suka olahraga," kata Oos sambil menambahkan setelah lulus SD terus melanjutkan ke SMP Negeri 37 Jakarta. "Ketika belajar di bangku sekolah baik tingkat SD maupun SMP, semuanya untuk orang-orang normal, yang menderita cacat dan memakai kursi roda hanya saya sendiri, tetapi juga tidak ada masalah," katanya. Saat di SMP, ia bahkan telah terpilih untuk ikut Pekan Olahraga Cacat Nasional (Porcanas) di Solo dan mendapat medali perunggu. Prestasi meraih perunggu di Porcanas Solo ternyata menambah kepercayaan dirinya, bahwa orang yang seperti dirinya ternyata juga masih berguna bagi bangsa dan negara. "Sepulang dari Solo saya terus berlatih olahraga dan yang paling disenangi, yaitu tenis meja," katanya. Lulus SMP Oos melanjutkan sekolah ke Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) Negeri 12 Jakarta yang sekarang menjadi SMK Negeri 20 Jakarta. Disekolah ini Oos mendapatkan teman-teman yang lebih banyak lagi meskipun sekolah ini juga hanya dirinya yang menderita cacat dan harus berada di atas kursi roda. Di sekolah ini Oos mendapat pengalaman yang luar bisa dan bisa menjadi bekal hidup sampai sekarang yang salah satunya badannya bertambah kuat, karena dari asrama sampai sekolah yang jaraknya sekitar lima kilometer ketika menuju kesekolah dijalani dengan jalan diatas kursi roda. "Sebenarnya saya juga dikasih uang transport dari orang tua, tetapi uang saya ambil terus saya memilih jalan dengan kursi roda menuju sekolah setiap hari terkecuali kalau hujan baru naik kendaraan umum. Berkat ini badan saya bisa kuat seperti sekarang. Ya sekali-kali kalau pulang hari Sabtu itu juga banyak ditemani teman-teman sampai asrama," katanya. Oos mengatakan ketika belajar di SMEA juga mendapat kepercayaan untuk ikut Pocanas di Malang, Jawa Timur yaitu mewakili DKI Jakarta. Dalam Porcanans ini mendapat medali perak. Setelah lulus dari SMEA Oos meskipun dengan keterbatasan tubuhnya bahkan juga sempat bekerja di sebuah perusahaan asing di Jakarta. Pindah Ke Solo Sampai lulus di sekolah kejuruan tersebut Oos makin menekuni hobinya itu, terutama bermain tenis meja. Berkat olahraga ini juga bisa merasakan keindahan hidup di atas kursi roda. Pada 1993, ia bertemu sang suami, Senny Marbun yang juga cacat di kaki kiri akibat folio. Beberapa tahun berikutnya setelah menikah mereka dikaruniai dua orang putri yang normal, Dinda Ayu Sekartaji yang sekarang duduk kelas II SMA Negeri 4 Solo dan Anggita Putri Melati yang sekarang masih duduk di bangku sekolah kelas II SMP Negeri 24 Solo. Oos bersama suaminya Senny Marbun pindah ke Solo pada 2000 dan menempati rumah kontrakan di Jalan Samirono II RT02 RW05 Petoran, Jebres Solo. Dirumah kontrakan ini untuk menyambung hidupnya membuka usaha kecil-kecilan dan bidang konveksi. Usaha konveksi yang ditekuni Oos bersama suaminya itu menenuhi kebutuhan seragam anak-anak sekolah, sejak dari TK sampai ke SMU/SMK. "Kami semua membuat seragam sekolah, simbol-simbol, kaos olahraga, topi dan semuanya yang berhubungan dengan seragam sekolah kami membuat dan ini lumayan untuk menyambung hidup kami sekeluarga," katanya. Seragam sekolah dan perlengkapan lainnya itu semua dipasarkan ke Jakarta dan sekitarnya dan ini berdasarkan pesanan, dengan mempekerjakan 13 orang penjahit setiap harinya. Ditanya soal omset, Oos mengatakan lumayan dan bisa untuk kebutuhan hidup dan sebagian ditabung buat membangun rumah seperti di Klauran RT 1/RW 25 Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo. Prestasi Oos dengan suaminya, meskupun telah golong sukses dalam kehidupan berkeluarga, tetapi juga tetap tidak mau meninggalkan hobinya sebagai atlet tenis meja. Sejak kepindahannya ke Solo, selain menjadi pengurus sekaligus juga jadi atlet National Paralympic Committee (NPC). Oos dalam kepengurusan NPC Jawa Tengah duduk sebagai bendahara, sambil menjadi atlet yang dipersiapkan untuk mengikuti ASEAN Paragames pada 10 Desember 2011 mendatang di Solo. Oos dalam cabang olahraga tenis meja memang prestasinya cukup bagus dan berharap dalam pesta olahraga tersebut nanti bisa meraih medali emas. "Meskipun sebagai ibu rumah tangga, kami setiap hari terus berlatih, karena kami dengan keterbatasan tubuh kami ini juga ingin menyumbangkan nama baik untuk bangsa dan negara ini ditingkat internasional," katanya. Oos mengatakan bersyukur dengan apa yang telah diraih meski dengan keterbatasan tubuhnya, ternyata masih bisa menyumbangkan tenaganya melalui olahraga, seperti ketika mengikuti ASEAN Paragames di Thailand pada 2008 di cabang olahraga tenis meja dan berhasil meraih medali perak dan perunggu. Di ASEAN Paragames Agustus 2009 di Malaysia, Oos meraih dua perak dan dua perunggu. Sementara itu pada 2010 di Asian Paragames di China tidak mendapat medali. "Kami juga berterima kasih kepada pemerintah bisa mengikuti kejuaraan di luar ngeri dan juga diberikan bonus cukup lumayan," katanya. Waktu itu bonus yang diberikan pemerintah untuk peraih medali emas adalah Rp30 juta, medali perak Rp20 juta dan perunggu Rp10 juta. "Kami terima kasih pemerintah masih memperhatikan rakyatnya dan mudah-mudahan ini bisa menjadikan semangat kepada warga yang lain dengan kondisi tubuh seperti saya ini," katanya. Oos mengakui bahwa sampai sekarang masih banyak orang tua yang beranggapan bahwa mempunyai anak dengan kekurangan tubuhnya sebagai aib dalam keluarga. Pandangan seperti ini seharusnya dibuang jauh-jauh, karena meskipun putranya mengalami kekurangan dalam fisik, mereka pasti mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki setiap orang. ***6***

Pewarta: Joko Widodo
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2011