Teknologi itu juga dapat mendeteksi mutase single-gene (monogenic) yang dapat mengakibatkan munculnya penyakit genetik ...
Jakarta (ANTARA) - Setiap tahun diperkirakan ratusan ribu bayi di Tanah Air lahir dengan kelainan bawaan, yang disebabkan faktor genetik dan juga nongenetik. Kelainan bawaan tersebut tidak hanya menguras tenaga dan pikiran, tetapi juga biaya pengobatan yang tidak sedikit dalam jangka panjang.

Namun, teknologi Pre-Implantation Genetic Testing for Aneuploidy (PGT-A) dan juga Pre-Implementation Genetic for Monogenic disorder (PGT-M) kini dapat mendeteksi kelainan genetik sejak fase embrio.

Direktur Scientific dari PT Morula Indonesia  Prof. Arief Boediono Ph.D menyatakan PGT-A merupakan teknologi bayi tabung terbaru untuk skrining kromosom pada embrio yang dimiliki guna membantu memaksimalkan keberhasilan kehamilan dalam program bayi tabung (IVF). Teknologi itu memungkinkan proses seleksi embrio yang ada.

“Sehingga, embrio yang dimasukkan ke dalam rahim merupakan embrio dengan kromosom normal dan diharapkan mempunyai tingkat keberhasilan hamil lebih tinggi dan melahirkan bayi yang sehat,” kata Arief.

Sebanyak 60 hingga 70 persen kegagalan bayi tabung disebabkan kromosom yang tidak normal, terutama pada perempuan yang berusia 38 tahun, yang mana kerusakan kromosom bisa mencapai 75 persen.

Kromosom yang tidak normal tersebut terjadi pada saat proses pembentukan sel telur, sperma, dan saat perkembangan embrio sehingga dapat menyebabkan kromosom yang terlalu banyak atau terlalu sedikit, atau bahkan hilang atau DNA bertambah.

“Kelainan kromosom ini dikenal dengan istilah aneuploidy, yang dapat menyebabkan kelainan kromosom seperti down syndrome dan Edwards Syndrome, serta kelainan dari kromosom jenis kelamin bayi seperti Turner Syndrome, Jakob Syndrome, Klinefelter Syndrome, dan Triple X, serta 60 persen keguguran,” jelas dia lagi.

Teknologi itu juga dapat mendeteksi mutase single-gene (monogenic) yang dapat mengakibatkan munculnya penyakit genetik bawaan seperti thalassemia, spinal muscular atropy, dan cystic fibrosis.

Berikutnya, teknologi PGT-M yang dapat membantu untuk mendapatkan keturunan dengan menurunkan risiko terkena penyakit-penyakit keturunan tersebut.

Dia memberi contoh bagaimana pasiennya, yang memiliki riwayat keturunan penyakit spinal muscular atropy yakni penyakit otot. Pasien tersebut memiliki bayi yang lahir sehat, tetapi begitu menginjak usia 7 bulan mengalami gangguan kesehatan, yakni ototnya yang makin melemah dan kemudian dirawat di rumah sakit dalam waktu cukup lama, hingga akhirnya meninggal dunia.

“Setelah kami selidiki, ternyata bayi tersebut mengidap spinal muscular atropy,” jelas Arief lagi.

Pada kehamilan selanjutnya, dibantu dengan menggunakan teknologi PGT-A dan PGT-M, pasien tersebut berhasil melahirkan bayi sehat tanpa menderita penyakit tersebut.

Keberhasilan tersebut secara ilmiah telah dilaporkan dan dipublikasi dalam jurnal internasional pada 2022 (International Journal of Reproductive BioMedicine) yang berjudul “Birth of  Spinal Muscular Atrophy Unaffected Baby from Genetically at-Risk Parents Following A pre-Implantation Genetic Screening: A Case Report”.

PGTM merupakan penapisan (screening) genetik lanjutan bagi pasangan yang memiliki risiko penyakit diturunkan.

“Kehadiran bayi sehat menjadi cikal bakal generasi yang sehat dan cerdas menuju impian Indonesia menjadi Generasi Emas 2045. Masa sekarang ini adalah era kesehatan presisi. Jadi jangan sampai penyakit turunan tersebut baru diketahui ketika sudah lahir,” imbuh dia.

Dongkrak kehamilan

Tak hanya mampu mendeteksi dini penyakit bawaan, PGT-A juga dapat mendongkrak peluang kehamilan hingga 68 persen pada kelompok usia tertentu. Teknologi itu dapat mendeteksi permasalahan kromosom pada embrio, yang menjadi penyebab keguguran pada bayi tabung.

Teknologi itu juga memberi manfaat bagi pasangan yang sudah melakukan program bayi tabung berulang kali, tapi belum berhasil untuk hamil, pasangan yang memiliki riwayat keguguran berulang, pasangan yang memiliki riwayat kelainan bawaan pada kehamilan sebelumnya, dan ibu yang sudah berusia lanjut.

Hasil studi yang dilakukan Morula mulai Januari 2019 hingga September 2022 pada hampir 500 pasien menunjukkan teknologi PGT-A membantu potensi kehamilan sebesar 68 persen pada kelompok usia 38-39 tahun dan 46 persen usia di atas 40 tahun.

Pada kelompok usia 38 tahun hingga 39 tahun, persentase kehamilan dengan teknologi PGT-A lebih baik 25 persen dibanding kehamilan non-PGT-A. Pada usia 40 tahun ke atas, PGT-A membantu persentase kehamilan 19 persen lebih baik dari yang non-PGT-A.

Data lain mengungkapkan, pasien dalam rentang usia 36 tahun hingga 44 tahun memiliki angka kromosom normal (euploid) yang jumlahnya lebih rendah dibandingkan kromosom tidak normal (aneuploid).

Hal itu menunjukkan bahwa teknologi PGT-A harus direkomendasikan pasien dalam kelompok usia tersebut agar tujuan mendapatkan embrio yang sehat dan mendapat bayi yang sehat pula, bisa terpenuhi.

“Oleh karena itu, pasangan yang mengalami kendala dalam mendapatkan keturunan hendaknya melakukan konsultasi sesegera mungkin karena usia calon ibu turut memengaruhi keberhasilan dari program bayi tabung,” imbuh Arief.

Managing Director Morula IVF Indonesia, Sonny Adi Nugroho, menjelaskan teknologi terbarukan berperan dalam menentukan kemajuan program bayi tabung di Indonesia.

“Pasien yang datang tidak hanya dari Indonesia, tetapi juga dari berbagai negara di Asia. Bahkan ada juga pasien kami dari Amerika Serikat,” kata Sonny.

Bahkan sejak pandemi COVID-19, rumah sakit di sejumlah negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura, berkurang pasiennya.

Hal itu disebabkan adanya pembatasan hingga biaya penerbangan yang tidak murah. Selain itu, teknologi yang sudah dikembangkan di Indonesia juga tidak kalah dibandingkan dengan negara lainnya.




 

 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023