Jakarta (ANTARA News) - Buah-buah sawit dilempar-lemparkan ke satu perahu besar yang telah mulai penuh di tepian Sungai Pancang,  sungai kecil di belakang rumah-rumah kampung di patok perbatasan Desa Ajikuning, Kecamatan Sebatik Tengah, yang berbatasan dengan Malaysia.

Sawit-sawit itu akan dijual ke Malaysia yang memiliki pabrik minyak goreng dengan harga 3.000 RM (sekitar Rp9 juta), kata Usman, warga keturunan Bugis kelahiran Sebatik, di tepi sungai yang sebenarnya sudah masuk wilayah Malaysia itu.

Tidak jauh dari tempat dia berjongkok ada satu jembatan penghubung ke wilayah Sebatik Malaysia. Di seberang sungai, tampak rumah panggung kayu milik orang Bugis warga Malaysia ditutupi rerimbunan pohon.

Secara administratif, Pulau Sebatik dibagi dua. Bagian utara seluas 187,23 Km2, masuk negara bagian Sabah, Malaysia, sedang bagian selatan seluas 246.61 Km2 menjadi bagian dari Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara.

Selain berbatasan darat, perairan Sebatik juga berbatasan dengan perairan Malaysia. Jarak Sebatik-Tawau hanya 15 menit dengan speedboat, sangat dekat bila dibandingkan ke Pulau Nunukan yang memakan waktu 1,5 jam dengan alat transportasi sama.

Sepanjang November 2012,  2.374 warga Sebatik Indonesia pergi-pulang ke Tawau, Malaysia, tanpa paspor (hanya kartu pas lintas batas), untuk menjual berbagai hasil bumi, mulai pepaya dan pisang, hingga ikan, sedangkan pulangnya mereka membawa gula, beras hingga solar.

Firman, warga Sebatik lainnya yang mencari penghidupan di dermaga penyeberangan di desa Aji Kuning menuju Tawau, mengaku sedih melihat kondisi Sebatik yang tidak banyak berubah meski banyak petinggi negara yang menginjakkan kaki di pulau ini.

Malam itu, ia kembali menatap ke tanah seberang ke kota Tawan yang penuh gedung tinggi dan bermandikan cahaya, seperti tertawa mengejeknya, meninggalkan Sebatik yang gelap dan terlupakan.

Meski tiga tahun terakhir sudah ada tiga Puskesmas, tiga SMA, dua SMK, satu Madrasah Aliyah, tiga hotel tanpa bintang, dan kendaraan-kendaraan lebih ramai lalu-lalang dibanding masa lalu, Sebatik tetaplah beranda yang miskin.

Mimpi jadi kabupaten

Para pemuda Sebatik kini mulai membayangkan pulaunya menjadi kabupaten tersendiri atau kota administratif, sehingga tidak lagi ketinggalan dari Tawau di Malaysia.

"Omzet yang diperoleh Malaysia dari jual beli dari warga Sebatik ini mencapai Rp500 juta per hari. Ini terpaksa, karena kalau mau beli kebutuhan di Nunukan atau Tarakan jauh sekali, lebih dekat ke Tawau, demikian pula ketika menjual. Potensi hasil bumi Sebatik sangat besar, semua dibawa ke Tawau," kata Muhammad Kamal, seorang pemuda wirastawan.

Dengan hanya menjadi kecamatan di bawah Kabupaten Nunukan, investasi tidak mau masuk ke Sebatik karena izin dipegang Kabupaten Nunukan. Selain itu, anggaran untuk Pulau Sebatik harus dikucurkan melalui Nunukan sehingga Sebatik sulit berkembang, tambah Harman, Camat Sebatik Tengah.

Harman inilah yang menemui rombongan ilmuwan, anggota Komisi Ilmu Sosial, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) yang diketuai sejarawan Prof Dr Taufik Abdullah bersama Prof Dr Ichlasul Amal dan Prof Dr Sediono Tjondronegoro saat mengunjungi Pulau Sebatik.

"Dengan menjadi kabupaten maka berbagai persoalan di Sebatik bisa diselesaikan sendiri. Misalnya untuk bangun pabrik es, karena untuk memenuhi kebutuhan nelayan saja es harus dibeli di Tawau, apalagi listriknya tak kuat," katanya.

Kepala Pusat Pengembangan Wilayah dan Kawasan Perbatasan, Universitas Borneo Tarakan (UBT), M Asfihan mengatakan, warga perbatasan kedua negara di Pulau Sebatik tidak pernah bertengkar karena mereka satu suku, yaitu Bugis.

"Masalah muncul, setelah ada batas, lalu perlakuannya menjadi berbeda. Warga Sebatik seperti anak yang baju-bajunya dibelikan oleh tetangganya, jadi si anak marah kepada bapaknya, bukan kepada tetangganya," katanya sambil menekankan betapa tergangantungnya ekonomi Sebatik kepada Malaysia.

Amrullah, dosen UBT lainnya, mengungkapkan ketika akan ada pemekaran Kalimantan Timur menjadi Kalimantan Utara , Sebatik-lah yang lebih cocok menjadi Kabupaten, bukan Tanah Tidung yang penduduknya hanya 10 ribuan orang. Wilayahnya memang lebih luas dari Sebatik, tapi lebih berupa hutan.

"Sebatik punya penduduk sampai 35 ribu orang dan sudah dimekarkan jadi lima kecamatan. Jadi sebenarnya sudah bisa jadi Kabupaten. Sedangkan Tanah Tidung waktu itu cepat-cepat dipecah dari Kabupaten Bulungan agar di Kaltara bisa punya lima kabupaten/kota sehingga memenuhi syarat menjadi provinsi sendiri," kata Amrullah.

Jakarta sentris

Namun Taufik Abdullah mempunyai pemikiran lain. Menurut dia, dibentuknya Kalimantan Utara pada 25 Oktober 2012 yang terdiri dari lima kabupaten dan Pulau Sebatik dimekarkan menjadi Kecamatan Sebatik, Kecamatan Sebatik Barat, Timur, Tengah dan Utara, membuat Sebatik lebih baik dari dulu.

"Kesan saya Sebatik cukup makmur dibandingkan dengan wilayah perbatasan Indonesia lainnya. Di samping itu, untuk menjadi suatu kabupaten selain harus memenuhi sejumlah syarat seperti jumlah penduduk, luas wilayah, dan jumlah kecamatan, juga perlu didukung oleh sumberdaya manusia yang kuat dan infrastruktur yang memadai," katanya.

Taufik setuju Sebatik menjadi kabupaten, namun dia mengingatkan, saat ini lebih dari 50 persen daerah yang dimekarkan berakhir dengan kegagalan dan sekitar 450 bupati dimeja-hijaukan gara-gara korupsi.

"Jadi, jangan sampai maksud yang baik ternyata sebenarnya hanya permainan segelintir elite politik lokal. Pemerintah perlu diyakinkan bahwa pemekaran adalah jalan terbaik. Tidak semudah dulu," kata Taufik.

Taufik mengimbau pemerintah agar membangun kawasan perbatasan seperti halnya membangun kota sehingga perbedaan antara wilayah Indonesia dengan negara tetangga tidak lagi terlalu mencolok.

"Ketika saya di perbatasan Thailand-Myanmar, saya sangat marah kepada pemerintah kita. Pemerintah Thailand membangun perbatasannya seperti mereka membangun kota-kotanya dengan infrastruktur dan fasilitas yang lengkap, hampir seperti Bangkok. Demikian pula pemerintah Myanmar, meski perbatasan Thailand lebih baik dibanding Myanmar," ujarnya.

Taufik prihatin menyaksikan tampak sekali perbedaan antara daerah yang dibiarkan tumbuh sendiri, dengan daerah yang dirancang sebagai kota tertata.

Taufik menyaksikan kekontrasan kondisi Sebatik dari kota Tawau. Yang satu seperti kampung, yang satunya lagi gagah dengan banyak gedung bertingkat, mulai perkantoran, hotel, rumah sakit, universitas, pusat perbelanjaan, hingga apartemen.  Bahkan dibandingkan dengan kota Tarakan sekalipun, Tawau tetap jauh lebih megah.

Uniknya Taufik tidak heran pada rata-rata terbelakangnya ekonomi masyarakat perbatasan, karena pemerintah pusat dan provinsi lebih senang terus membangun pusat pemerintahannya.

"Pemerintah terlalu Jakarta sentris. Padahal kita saat ini bernegara dengan bentuk negara modern, bukan kerajaan seperti di masa lalu yang hanya membangun kotanya, lalu semakin jauh dari pusat semakin terabaikan," kata Taufik.

(D009/Z003)

Oleh Dewanti Lestari
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2012