Den Haag (ANTARA News) - Prospek cerah kuliner Indonesia di Belanda tidak serta merta membuat pengusaha dari Tanah Air dengan mudah membuka berbagai cabang di negara kincir angin itu, karena aturan usaha kuliner di negara tersebut tergolong sangat ketat.

Berbeda dengan usaha kuliner di Indonesia yang cukup menyewa ruangan atau membuat warung lalu dengan mudah bisa berjualan, maka di Belanda ada aturan yang begitu ketat mulai dari izin usaha, izin lingkungan, modal usaha yang diverifikasi, izin tenaga kerja, nomor wajib pajak, sampai pengecekan alat masak dan alat keamanan yang digunakan.

Albert Wiliam (48), pemilik warung "Wijaya Kusuma" di Einhoven, Belanda mengungkapkan, dokumen untuk membuka restoran di Belanda cukup banyak. "Bisa setumpuk segini," katanya sambil mengangkat tangan setinggi 25 centimeter.

Itulah mengapa Pasar Kuliner pada Pasar Malam Indonesia (PMI) 2013 di Malieveld, Den Haag yang akan ditutup Minggu (24/3) ini, hanya disi oleh pengusaha kuliner warga Belanda karena siapapun yang membuka usaha dipersyaratkan mempunyai nomor wajib pajak.

Aturan lain yang membuat ribet yaitu persyaratan makanan yang dijual harus berada pada suhu di bawah tujuh derajat celsius atau di atas 60 derajat celsius hanya karena hasil riset menunjukkan pada suhu antara tujuh sampai 60 derajat celsius itulah bakteri dengan mudah berkembang biak di makanan.

Tim dari Dinas Kesehatan setempat selalu berkeliling untuk melakukan pengecekan, dan jika ada sajian yang diukur dengan termometer berada di kisaran tujuh sampai 60 derajat celsius maka bisa kena denda ribuan Euro. Tim juga akan mengecek, perlengkapan koki termasuk baju khusus dapur, alat pemadam yang masih berfungsi serta kebersihan dapur dan ruang makan.

Yeni (53), pengusaha kuliner asal Delf, Belanda mengungkapkan, pernah didenda 3.000 gulden lima tahun yang lalu karena punya tiga kesalahan antara lain sajian makanan berada di kisaran suhu 7-60 derajat celcius dan ruangan makan yang kotor.

"Saat itu, saya sedang sakit sehingga restoran dijaga pembantu yang baru dari Indonesia dan belum paham benar aturan main," katanya.

Begitu ketatnya soal penegakan hukum di negera itu, sampai petugas kesehatan itu pasti akan menolak jika ditawari kopi oleh pemilik restoran. "Kalau sudah di luar jam dinas dan tidak berpakaian dinas, dia pasti mau menerima tawaran kopi," katanya.

Berkembang Pesat
Namun menurut Albert, walaupun cukup ketat soal izin dan aturan kesehatan, usaha kuliner Indonesia empat tahun terakhir perkembangan luar biasa dan meningkat dua kali lipat lebih. "Ini karena pasar masih terbuka jadi menarik bagi siapa saja untuk membuka bisnis ini, walaupun banyak aturan yang harus ditaati," katanya.

Ia menjelaskan, harga bahan baku masakan Indonesia, tersedia cukup dan harga tidak jauh beda dengan pasaran di Indonesia sementara minat warga Eropa khususnya Belanda untuk mengkonsumsi masakan Indonesia semakin tinggi.

Ia mencontohkan harga beras kualitas bagus 20 kilogram hanya 16 Euro atau sekitar Rp200 ribu. "Bahkan kalau beli lima karung akan dapat bonus satu karung, artinya harganya hanya Rp170 ribuan satu karung 20 kilogram," katanya yang membuka warung di Einhoven, Belanda.

Demikian juga bumbu-bumbu yang sebagian besar dari Thailand seperti bawang, sereh, merica, jahe, kunyit, cabe, dan kecap, harganya tidak terlalu mahal dibanding harga pasaran di Indonesia.

Hal senada diungkap Yeni (53), pengusaha kuliner asal Delf, Belanda yang mengatakan, saat ini warga Belanda rata-rata makan nasi dengan lauk kuliner Indonesia 2-3 kali setiap minggu, dan permintaan makanan ringan dari sejumlah toko tidak pernah surut.

Ia mencontohkan, makanan ringan seperti keripik singkong, keripik pisang, kacang mete, rengginang, dan emping mempunyai pasar yang besar di Eropa. "Hampir semua makanan ringan yang saya datangkan selalu habis dibeli dalam waktu singkat," katanya.

Indonesia Harus Berperan
Baik Albert maupun Yeni berharap, pengusaha Indonesia bisa ikut menikmati "bomming" kuliner Indonesia di Eropa karena selama ini yang ikut menikmati hanya pengusaha dari China, Thailand, Taiwan dan Vietnam.

"Semua bahan makanan yang saya tahu ada di Indonesia ternyata dikemas dan diimpor dari negara lain bukan dari Indonesia," kata Albert.

Bahkan ia mengungkapkan, rebung yang menjadi bahan pembuatan lumpia diimpor dari Thailand, padahal potensi rebung Indonesia cukup besar. Demikian juga bahan baku lain seperti saus dan kecap.

"Kita juga sedih karena kita tahu, Indonesia sebenarnya bisa memasok bahan baku itu. Kalau tata niaganya efisien, petani Indonesia pasti lebih sejahtera," katanya.

Yeni mengungkapkan, pengusaha Thailand mengirimkan saus dalam kemasan drum, kemudian di Belanda dikemas dalam botol dan sachet kecil. "Satu perusahaan itu mampu membuat variasi 12 macam mulai saus rasa tomat, terasi, asam manis, dan sebagainya," katanya.

Menurut Yeni, salah satu kebijakan Pemerintah Belanda yaitu memberikan kemudahan kepada industri di negara lain yang menggunakan peralatan pabrik dari negerinya. "Jadi banyak perusahaan di Thailand dan China menggunakan mesin-mesin produksi Belanda sehingga hasil produksi mereka mudah masuk ke Belanda," katanya.

Peluang lain yang cukup besar yaitu bumbu uleg asli Indonesia yang dibuat tanpa diblender karena semua koki menyadari bumbu uleg mempunyai cita rasa yang berbeda dibanding dengan bumbu blender, irisan bumbu atau bumbu instan.

"Banyak restoran, saat menghadapi pesanan banyak lalu beralih dari bumbu uleg ke bumbu instan sehingga cita rasanya berbeda. Ini membuat mereka yang tahu cita rasa akan beralih ke restoran lain," katanya.

Sebuah anjungan di PMI 2013 juga menjual bumbu uleg asli yang bervariasi untuk rendang, ayam bakar, opor, nasi goreng, rawon, soto, gule, juga laris manis diserbu pembeli.

Bumbu produksi Gerak Tani di Bekasi dipajang menumpang di anjungan PT Pertiwi Alam Jaya, perusahaan pengolah sabut kelapa dan dijual dengan harga 3 Euro atau Rp37.500 per kantong ukuran 250 gram . "Ya itu punya rekan saya sesama alumni Balai Pelatihan Pangan Kementerian Perdagangan," katanya.

Masih banyak peluang bagi pengusaha Indonesia untuk memanfaatkan perkembangan pesat kuniler di Eropa, khususnya Belanda.

Namun, Yeni, kelahiran Solo itu, mengingatkan bahwa pengusaha harus tetap menjaga mutu barang yang dikirim ke Belanda karena sudah banyak pengusaha di Belanda kecewa karena barang yang dikirim makin lama makin menurun kualitasnya.

"Saya berulang kali kecewa karena pesanan kita pada awalnya bermutu bagus, namun kemudian yang dikirim barang yang mutunya jelek sehingga tidak bisa dijual di sini," katanya yang pernah belasan tahun mengimpor makanan ringan dari Indonesia.

Oleh Budi Santoso
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013