Pada tahun 2013 diperkirakan akan mencapai 4,5 juta ton"
Jakarta (ANTARA News) - Di dalam dunia kelapa sawit Indonesia, terdapat dua fenomena menarik dalam tiga tahun terakhir yaitu hilirisasi dan mulai tumbuhnya produksi di Kalimantan.

Hal tersebut disampaikan Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi dalam keterangan tertulis, saat berkunjung ke Badau, Kalimantan Barat, guna meresmikan pengiriman ekspor perdana CPO melalui Pos Lintas Batas (PLB) Badau menuju negara bagian Sarawak, Malaysia Timur.

Wamendag melanjutkan, terkait dengan hilirisasi, ekspor Indonesia di tahun 2011 masih didominasi oleh produk hulu, yaitu CPO yang mencapai 61 persen dari total ekspor.

Namun, pada 2013 kondisinya terbalik, dimana ekspor dalam bentuk produk hilir berupa 'refined bleached deodorized' (RBD) palm oil, RBD palm kernel oil, dan stearin telah mencapai 57,9 persen. Hal ini terjadi terutama sebagai akibat dari kebijakan bea keluar yang memang memberi insentif untuk hilirisasi.

Menjelaskan mengenai produktivitas Kalimantan dari tahun ke tahun, Wamendag Bayu mengatakan bahwa produksi Kalimantan tahun 2010 hanya sebesar 900 ribu ton. Kemudian di tahun 2011 produktivitas itu mencapai 2,3 juta ton, sedangkan tahun 2012 mencapai 3,4 juta ton.

"Pada tahun 2013 diperkirakan akan mencapai 4,5 juta ton," ujarnya.

Menurut Wamendag, hal tersebut terjadi karena perkebunan-perkebunan mulai memasuki umur tanaman menghasilkan.

Jika dibandingkan dengan Kalimantan, lanjut Wamendag, produksi Sumatera pada 2013 diperkirakan akan mencapai 17,5-18 juta ton CPO, namun sebagian sudah dengan tanaman tua.

Wamendag Bayu Krisnamurthi juga memperkirakan bahwa dengan pertumbuhan sedemikian cepat, produksi Kalimantan akan bisa melewati Sumatera pada tahun 2020.

Pertumbuhan Kalimantan yang pesat ini berpotensi menimbulkan masalah baru yang harus diantisipasi. Wamendag menjelaskan bahwa masalah tersebut antara lain adalah outlet, yaitu permasalahan yang terkait dengan bagaimana cara menyalurkan produksi besar itu keluar Indonesia.

Dalam kondiisi seperti itu, lanjut Wamendag, diproyeksikan akan dibutuhkan pelabuhan yang akan melayani ekspor atau perdagangan antar pulau, yang berada di Pontianak, Banjarmasin, dan Sangata/Maloy. Namun itu mungkin belum cukup, terutama karena banyak kebun berada di tengah pulau Kalimantan, sehingga jauh dari pelabuhan.

Menurut Wamendag, hal inilah yang menyebabkan Badau menjadi strategis.

“Posisinya di tengah pulau, sehingga memungkinkan Badau menjadi jalan keluar bagi produksi CPO dan produk lain," ujarnya.

Pewarta: Azis Kurmala
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2013