Satwa ini tidak akan mau dan tidak akan bisa sembarang kawin."
Jambi (ANTARA News) - Pogram patroli rutin bersandi Patroli Sapu Jerat yang digelar setiap Ramadhan adalah upaya memperlambat proses kepunahana satwa langka harimau sumatera, demikian keterangan Polisi Hutan (Polhut) khusus Patroli Harimau Sumatera Taman Nasional Kerinci Seblat (PHS-TNKS) mengungkapkan

"Sebenarnya segala upaya yang kita lakukan saat ini termasuk program tetap tahunan Patroli Sapu Jerat di setiap bulan Ramadhan ini hanyalah salah satu upaya memperlambat proses kepunahan satwa langka maskot Sumatera yang jadi primadona pemburu liar dari pasar gelap perdagangan satwa di dunia," kata manajer lapangan PHS-TNKS, Dian Risdianto, di Jambi, Minggu.

Menurut dia, jika menilik dari jumlah populasi harimau sumatera (pathera Tigris Sumatrae) yang semakin berkurang jumlahnya dalam satu dasa warsa ini hanya menyisakan antara 100 hingga 200 harimau di kawasan TNKS.

Jumlah tersebut, menurut dia,  adalah angka yang sudah masuk zona garis merah atau di ambang kepunahan yang sudah pasti akan terjadi.

"Pasalnya, harimau sebagai satwa individual yang hidup sendiri-sendiri di alam bebas tidak komunal atau berkelompok, seperti halnya singa, maka memerlukan kawasan hutan yang sangat luas untuk mereka mempertahankan kelangsungan hidupnya. Hal tersebut tidak sebanding dengan luas kawasan hutan yang kini tersisa terus menyusut, tidak terkecuali di kawasan TNKS,`" ujar Dian.

Selain itu, ia mengemukakan, ciri perkembang biakan harimau sangat karekteristik selektif, karena harimau adalah satwa yang tidak sembarangan dalam memilih pasangan untuk melakukan hubungan perkawinan guna melahirkan keturunan.

"Satwa ini tidak akan mau dan tidak akan bisa sembarang kawin. Seekor jantan akan memilih pasangannya yang terjamin sehat dan jauh dari garis keturunannya sendiri atau telah yakin si betina calon pasangannya bukan dari kalangan keluarganya sendiri, baik saudarinya apalagi induknya," ujar Dian.

Harimau jantan, kata dia, tidak akan mau mengawani induknya ataupun saudara betinanya sepersusuan karena hal tersebut sangat berisiko akan rusaknya gen terhadap anak-anaknya yang terlahir berikutnya.

Oleh karena itu, ia mengemukakan, harimau sifatnya sama seperti manusia yang tidak bisa melakukan perkawinan inses (satu keluarga), seekor pejantan akan mencari betina lain yang bukan dari keluarga dekatnya untuk bisa kawin dan meneruskan garis keturunan yang baik.

"Jika dalam kondisi terpaksa terjadinya perkawinan inses akibat semakin mengecil populasi betina, maka risikonya adalah rusaknya gen anak harimau yang akan terlahir. Selanjutnya berisiko si anak akan mengalami kelainan baik secara fisik maupun mental, bisa jadi si anak akan menjadi harimau yang mandul atau lemah, tidak akan bisa bertahan hidup normal dalam jangka waktu yang lama," ungkapnya.

Dian mengemukakan, setiap harimau akan dapat mendeteksi keberadaan individu harimau lainnya yang dijumpainya apakah termasuk keluarganya atau bukan hanya dari mengenali corak loreng di tubuh atau mengenali aroma tubuh.

Selain itu, ia mengungkapkan, guna mendapatkan pasangan yang sesuai, maka di alam lepas seekor harimau jantan akan memiliki wilayah jelajah hingga 50 kilometer persegi, sementara harimau betina memiliki teritorial setiap ekornya sekitar 20 km persegi.

"Dari kondisi itu, maka dapatlah diperkirakan apa yang telah atau akan terjadi dengan jumlah populasi yang kini hanya sekitar 100 hingga 200 ekor saja, sudah barang pasti di dalamnya adalah keluarga besar yang masih memiliki garis keturunan yang sama," ujar Dian.

Oleh karena itu, ia menilai,  risiko inses tidak dapat lagi dihindari, dan harimau yang terlahir berikutnya dapatlah digolongkan sebagai generasi pesakitan yang takkan mampu bertahan normal sebagaimana layaknya harimau, mungkin mandul, serta cacat lainnya.

"Kita pesimistis ketika ada kabar terbaru masih ditemukannya keberadaan harimau jawa diprediksi dua atau tiga ekor. Hal itu sama saja artinya sudah punah. Di Jambi saja di tiga kawasan TN lainnya, yakni TNB-12, TNB-30 dan TN Berbak, keberadaan harimau sumatera sudah dapat kita katakan sudah punah karena jumlahnya sudah sangat kritis beberapa belas ekor saja," demikian Dian.
(T. KR-BS)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2013