Mereka adalah kelompok-kelompok yang lebih berwibawa pada oknum-oknum legislator dan eksekutif yang tidak bertanggung jawab,"
Jakarta (ANTARA News) - Wajah demokrasi dalam 15 tahun sering "dinodai" kepentingan elit dan ketamakan kekuasaan sehingga melahirkan banyak "kelompok pendorong" menyuarakan pengembalian sistem demokrasi yang mengutamakan kepentingan rakyat, kata pengamat politik Fachry Ali.

"Mereka adalah kelompok-kelompok yang lebih berwibawa pada oknum-oknum legislator dan eksekutif yang tidak bertanggung jawab," kata Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia itu setelah diskusi "Demokrasi Rakyat vs Demokrasi Voting" di Jakarta, Kamis petang.

Fachry lebih menyebut kelompok pendorong itu sebagai "unauthroized political power" atau kekuatan politik "independen" yang biasanya diusung oleh lembaga kajian, lembaga swadaya masyarakat, ataupun media massa.

"Mereka membawa kepentingan yang lebih substantif dari pada yang memiliki kekuatan yang lebih besar (anggota legislatif dan eksekutif)," ujarnya.

Hal itu, lanjut Fachry, adalah konsekuensi demokrasi yang telah dijalankan oleh bangsa ini, terlepas dari dikotomi pandangan demokrasi yang telah berhasil atau tidak.

"Kelompok-kelompok pendorong" ini lahir dan kerap kali mewacanakan sistem politik yang lebih baik, termasuk di kelembagaan politik di tubuh partai politik.

Kelemahan kelembagaan partai politik, ujar Fachry, mengerucut kepada semakin lemah dan minimnya pemikiran untuk melibatkan partisipasi masyarakat secara aktif dan penerapan dinasti politik. Dia menyebut kondisi politik negara kini seperti sistem politik proletar.

"Negara ini sekarang proletarian political system, suatu sistem politik dimana institusionalisasi politik itu belum bagus. Kemudian, partisipasi masyarakat belum menyeluruh," ujarnya.

Perbaikan sistem politik yang disuarakan "kelompok pendorong" salah satunya bisa direalisiasikan dengan penghapusan tradisi dinasti politik, kata Fachry.

Aktivis reformasi pada 1998 Indra J. Piliang pada kesempatan yang sama mengatakan, demokrasi di Indonesia telah berjalan tidak pada jalurnya dan menimbulkan pertanyaan apakah sistem ini merupakan yang terbaik bagi bangsa.

Dia menyebutkan fungsi pranata demokrasi antara Presiden, Menteri dalam eksekutif dan anggota DPR di legislatif tidak didirikan secara utuh. Proses menyuarakan pendapat antarelit itu, mengenai sebuah isu misalnya, dilakukan tanpa sistem yang jelas dan tidak memberikan ruang diskusi yang elok untuk dinikmati rakyat.

"Harusnya ada forum saat Presiden bicara, di situ juga ada MPR, DPR, DPD yang juga harus menyuarakan suaranya. Presiden sudah berbicara mengenai suatu isu, tapi Menteri yang menjadi bawahan Presiden ikut berbicara. Seharusnya dihargai sistem pranata demokrasi di eksekutif," ujarnya.

Seharusnya menurut dia, setiap lima atau 10 tahun sekali, dilakukan kajian terhadap proses demokrasi yang dijalankan. Demokrasi itu sudah berpihak ke rakyat, atau hanya dimanfaatkan oleh elit politik dan penguasa.

"Kita belum dapat memastikan orang-orang terbaik yang lolos dalam konstestasi demokrasi. Sehingga yg muncul sekarang, misalnya untuk di level daerah, adalah ratusan kepala daerah yg korupsi," kata Indra. (*)

Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013