Beijing (ANTARA News) - Di suatu acara amal internasional di Beijing, seorang pengunjung Liu Qang (35) memandangi jualan berupa nasi goreng kampung khas Indonesia.

Nasi goreng kampung khas Indonesia dijual dengan harga 25 Yuan plus sambal, potongan mentimun, potongan telur dadar, dan kerupuk udang kecil.

Jika  nasi goreng paket itu ditambah sate ayam Madura, harganya 40 Yuan.

Setelah lima menit menimbang, akhirnya Liu Qang mengeluarkan 40 yuan untuk membawa kuliner khas Indonesia yang disiapkan Dharma Wanita KBRI Beijing.

Basar amal internasional itu rutin digelar setiap tahun oleh Kementerian Luar Negeri China dan diikuti oleh hampir seluruh perwakilan negara sahabat dan organisasi internasional di Beijing.

Pada basar itu, masing-masing negara menampilkan kuliner khas mereka.

Nasi goreng dan sate Madura  ditampilkan Kedutaan Besar RI di Beijing sebagai ikon kuliner Indonesia.
Nasi goreng kampung dan sate ayam Madura merupakan dua dari 30 ikon kuliner nusantara yang sudah ditetapkan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

"Kuliner menjadi bagian penting dalam mempromosikan eksistensi sebuah destinasi. Apalagi Indonesia yang beragam dengan budaya dan kulinernya," kata Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu.

Ikon lain misalnya Asinan Jakarta, Soto Ayam Lamongan, Tahu Telur Surabaya, Rawon Surabaya.

Di China ada beberapa restoran Indonesia seperti Restoran Padang (Beijing) yang menampilkan tidak saja kuliner asal Padang tetapi juga beberapa daerah lain seperti Jawa Barat dan Jawa Timur, Restoran Bali Bistro dan Made in Indonesia (Shanghai) serta Restoran Pandan Indonesia di Guangzhou, Provinsi Guandong.

Menurut salah satu anggota tim kelompok kerja (pokja) 30 Ikon Kuliner Tradisional Indonesia William Wongso mengatakan kemunculan restoran-restoran Indonesia di luar negeri belum cukup mempopulerkan hidangan Indonesia.

Hal itu menurut William karena cita rasa otentik kuliner Indonesia yang kaya akan rempah ternyata disesuaikan dengan lidah masarakat lokal di setiap negara tempat restoran Indonesia berdiri.

"Belum ada guide line yang jelas, karena setiap restoran coba menginterpretasikan. Menurut saya yang paling parah adalah mereka mencoba menyesuaikan dengan selera masyarakat lokal di luar negeri sehingga otentiknya hilang," ujar William.

Sementara itu, pemerhati wisata kuliner Bondan Winarno menilai wisata kuliner Indonesia masih dipandang sebelah mata dan disepelekan  oleh para pemangku kepentingan.

"Para pemangku kepentingan industri pariwisata dan mitranya belum memiliki kepedulian menangani dan mengembangkan wisata kuliner secara serius dan profesional," tuturnya.

Dia membandingkan restoran Thailand mencapai 20 ribu di seluruh dunia.

"Bahkan negara itu meyakinkan publik dunia dengan slogan Thai Kitchen to The World, ternyata sukses dan berhasil," kata Bondan.

Berbanding terbalik dengan nasib kuliner Indonesia. Misalnya, dalam sebuah acara yang digelar perwakilan RI di China tidak ada satu pun menu kuliner nusantara yang terhidang, di antara beragam kuliner  barat, Jepang serta Italia. Hingga salah satu undangan pun berbisik "mengapa tidak ada kuliner khas Indonesia?".

Menurut pengamatan Antara, event organizer  Indonesia di China terkadang enggan membawa delegasi China baik pemerintah maupun swasta untuk menjamunya di restoran khas nusantara, saat berada di Indonesia.

Tak hanya itu, pengelola acara yang nota bene warga negara Indonesia, juga enggan menjamu delegasi Indonesia ke restoran nusantara di China.

Kepedulian, dukungan, penghargaan lebih dulu datang dari dalam seperti yang dilakukan pemerintah dan semua pemangku kepentingan di Thailand.

Kuliner mereka mendunia serta berhasil menjadi ikon untuk menarik wisatawan datang ke kedua negara itu.

Oleh Rini Utami
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013