Usman dan Harun itu orang Indonesia, kapalnya juga milik Indonesia. Lantas, kenapa ada yang keberatan?"
Surabaya (ANTARA News) - Mantan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo menilai masalah penamaan KRI Usman-Harun merupakan urusan dalam negeri dan tidak boleh ada negara lain yang protes, termasuk Singapura.

"Usman dan Harun itu orang Indonesia, kapalnya juga milik Indonesia. Lantas, kenapa ada yang keberatan?" ujarnya kepada wartawan di sela konvensi calon presiden dari Partai Demokrat di Surabaya, Kamis.

Pihaknya meminta kepada Singapura untuk mau mengerti dengan kebijakan Pemerintah Indonesia. Apalagi, kata dia, KRI Usman-Harun melautnya di Indonesia.

Ia lantas menjelaskan perbedaan antara pecundang dan pejuang. Menurut Pramono, dalam kasus ini Usman dan Harun adalah pejuang. Berbeda jika keduanya dianggap pecundang oleh negara lain.

"Tapi yang jelas, Usman Harun adalah pahlawan bagi bangsa ini. Kalau negara ini menyatakan keduanya pahlawan, ya sudah," katanya.

Kendati demikian, pihaknya mengimbau agar terus dilakukan komunikasi untuk memecahkan masalah ini agar tidak berkepanjangan.

Hal senada disampaikan Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Endiartono Sutarto. Menurut dia, penamaan KRI Usman-Harun hak bangsa Indonesia dan berharap pemerintah tak terpengaruh atas sikap Singapura.

"Kalau Singapura menganggap itu membuka luka lama, justru mereka yang membuka. Seandainya mereka tak mempermasalahkan, tentu tidak akan seperti ini," kata dia.

Sedangkan, Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Hayono Isman menilai langkah pemerintah saat ini sudah benar dan harus dipertahankan nama KRI Usman-Harun.

Tentang anggapan Singapura bahwa mereka teroris, menurut di, merupakan urusan negara tersebut. Namun, Indonesia menganggap Usman dan Harun sebagai pahlawan karena bekerja melaksanakan tugas negara.

"Saya juga ingatkan kepada Singapura agar jangan retaliasi atau membalas. Kalau saling balas, tentu tidak akan selesai persoalan ini," ujar Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat tersebut.



Pewarta: Fiqih Arfani
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014