Jakarta (ANTARA News) - Sertifikasi aset milik kementerian/lembaga negara, khususnya tanah dan bangunan, tidak boleh lagi atas nama kementerian/lembaga, tetapi ke depan harus atas nama pemerintah (cq Menteri Keuangan). "Ke depan sertifikasi atas aset-aset pemerintah pusat, tidak melalui masing-masing kementerian/lembaga, tetapi atas nama pemerintah cq menteri keuangan dan lebih teknis lagi tentunya Ditjen Kekayaan Negara Depkeu," kata Dirjen Perbendaharaan Depkeu, Mulia Nasution, akhir pekan ini di Jakarta. Mulia menyebutkan pemerintah sudah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Kekayaan Negara pada awal tahun 2006 lalu. Pemerintah saat ini sedang mempersipkan sosialisasi PP itu. "Ini akan lebih efektif dengan struktur organisasi baru di Depkeu di mana ada Ditjen Kekayaan Negara yang sebelumnya Ditjen Piutang dan Lelang Negara. Direktorat Pengelolaan Barang Milik Negara yang sebelumnya di Ditjen Perbendaharaan juga akan dialihkan ke Ditjen baru itu, sehingga bisa lebih fokus kepada upaya optimalisasi pengelolaan kekayaan negara," katanya. Menurut dia, berdasar UU tentang Keuangan Negara, Menteri Keuangan merupakan pengelola barang milik pemerintah, sementara kementerian/lembaga merupakan pengguna barang. "Sesuai dengan namanya mereka (kementerian/lembaga) bertanggung jawan untuk dapat memanfaatkan sebaik mungkin aset yang ada di instansi masing-masing sehingga jika tidak diperlukan makan seyogyanya dikembalikan kepada pengelola aset negara," katanya. Menurut dia, perkembangan di pemerintah daerah lebih maju daripada di pusat di mana atas aset-aset milik pemda tidak diatasnamakan dinas-dinas, tetapi atas nama pemerintah daerah. "Di tingkat pusat juga diharapkan seperti itu sehingga memudahkan pemanfaatannya. Misalnya di satu departemen ada yang berlebih sementara di departemen lain membutuhkan, maka yang membutuhkan tidak perlu beli karena bisa dialihkan penggunaannya," katanya. Ia menyebutkan untuk meningkatkan daya guna aset milik pemerintah khususnya berupa tanah, juga terbuka kemungkinan kementerian/lembaga melakukan kerjasama penggunaan aset itu dengan pihak lain dengan berbagai pola secara transparan dan bertanggung jawab. Pola itu misalnya built operate transfer (BOT), built transfer operate (BTO), dan built operate and owner (BOO). Pada pola BOT, pada lahan itu dibangun dulu kemudian dimanfaatkan, setelah jangka waktu tertentu diserahkan kembali kepada pemerintah. Sementara pola BTO, lahan dibangun dulu dan langsung ditetapkan kepemilikannya, selanjutnya dikerjasamakan. Dan pola BOO, lahan dibangun dan dimanfaatkan dan ada perjanjian bagaimana cara pengembalian kepada pemerintah. Menurut Mulia, pada prinsipnya aset berupa tanah dan bangunan milik pemerintah tidak dapat dipindahtangankan kepada pihak lain. Berdasarkan PP Nomor 6 tahun 2006 itu, pemindahtanganan hanya dapat dilakukan antara lain jika sudah tidak sesuai dengan tata kota lagi atau untuk pembangunan sarana-sarana umum. "Kepemilikan pemerintah bisa hapus jika tidak sesuai lagi dengan tata kota, misalnya tadinya kawasan perkantoran berubah menjadi kawasan bisnis, atau untuk pembangunan sarana umum," katanya. (*)

Copyright © ANTARA 2006