Jakarta (ANTARA News) - Di era dekade 70-an, dunia pendidikan belum secanggih dan sekompleks sekarang.

Kalkulator, komputer, telepon genggam, apalagi yang cerdas, belum menjadi bagian dari keseharian siswa.

Segalanya terasa begitu simpel. Namun simplisitas itulah roh pendidikan masa itu.

Ketika aspek komodifikasi pendidikan memasuki sistem kehidupan, simplisitas tersebut kian jauh dari praksis pemelajaran.

Sejak di bangku pendidikan dasar anak-anak sudah dibebani beragam pengetahuan yang membuyarkan fokus.

Anak-anak disuapi segala macam pengetahuan dan keterampilan yang melebihi kapasitas energi manusiawi mereka.

Sekalipun seorang anak sudah memperlihatkan bakat luar biasa di bidang tarik suara, orang tuanya mendorongnya untuk mengambil kursus privat melukis, menggesek biola atau memainkan piano.

Masih belum puas dengan kursus bidang seni, sang anak juga dilatih seni gerak tubuh seperti balet.

Dia pun didorong berolahraga renang, basket dan entah apa lagi. Itu terjadi pada anak dari keluarga kelas menengah atas tentunya.

Bagi mereka yang berasal dari kelas menengah ke bawah, kadang situasinya lebih menguntungkan.

Ada seorang anak yang berbakat bermain catur, sang orang tua yang cuma penarik bajaj mengupayakan hanya kursus bermain catur, dan hasilnya lebih menjanjikan.

Anak itu punya fokus dan tak mengalami apa yang disebut sebagai distraksi oleh kemelimpahan.

Anak-anak sekarang jelas dengan mudahnya terkena distraksi baik yang diakibatkan oleh hasrat orang tua yang terlampau banyak untuk masa depan sang anak maupun oleh kondisi kemajuan teknologi informasi.

Jangan untuk anak-anak sekolah dasar, anak-anak yang masih duduk di bangku taman kanak-kanak pun mulai kehilangan fokus dalam mengisi hari-hari belajarnya.

Meledaknya hiburan di rumah, terutama orang tua yang terolong kelas menengah atas, membuat anak dengan cepatnya berpindah-pindah dalam fokus perhatian.

Televisi kabel yang memberikan lebih beragam tontonan mengibur mengurangi konsentrasi anak untuk menghayati permainan yang sesuai dengan tahapan usia mereka.

Jadi apa yang mesti dikembalikan pada anak-anak, terutama untuk mereka yang masih dalam tahap mengikuti edukasi dasar? Mengembalikan simplisitas pemelajaran! Itulah kuncinya.

Biarkanlah anak mengerjakan soal-soal pekerjaan rumah dari guru tanpa harus menambahnya dengan kursus-kursus yang bervariasi.

Usahakan untuk tidak menyodorkan aneka bacaan bergambar yang kini melimpah di toko buku.

Orang tua biasanya tergoda untuk membelikan aneka bacaan bergambar meskipun sebetulnya di rumah sudah ada bacaan berupa cerita dongeng yang sudah termaktub dalam buku pelajaran sekolah.

Sesungguhnya inti sukses dari pendidikan dasar, yang menjadi fondasi bagi pendidikan tahap selanjutnya, adalah kapabilitas pendidik yang inspiratif bagi siswa.

Anak-anak sekolah dasar akan menjadi tercerahkan ketika salah seorang di antara guru-guru yang mengajarnya di sekolah punya kemampuan menginspirasi.

Guru semacam ini tentunya punya pesona dalam mengajar, punya empati kepada yang berkemampuan minus dan piawai dalam berkisah di dalam kelas.

Pengalaman memperlihatkan bahwa guru-guru yang bisa membawakan cerita dengan bagus akan sanggup menginjeksi cerita abadi dalam benak siswa sampai siswa itu dewasa.

Jika seorang siswa mempunyai keberuntungan dalam arti sempat belajar dengan guru yang inspiratif itu, siswa itu tak akan memperlukan banyak pasokan buku cerita sebagaimana ditawarkan oleh toko-toko buku.

Pendidikan dasar yang inspiratif agaknya perlu juga memberikan porsi yang lebih banyak pada aak-anak untuk berlatih meulis pengalaman otentik mereka sehari-hari.

Anak berusia tujuh tahun sudah bisa digairahkan untuk mencatat peristiwa kesehrian yang mereka alami.

Menulis cerita berdasarkan pengalaman merupakan bentuk pemelajaran yang luar biasa jika guru punya kemampuan mengarahkan siswanya.

Caranya sebetulnya simpel. Guru memberikan contoh dengam menulis di papan tulis tentang pengalaman kesehariannya dalam berinteraksi dengan siswa-siswa yang diajarnya.

Dengan membaca cerita yang ditulis, yang bahannya diambil dari pengalaman guru bersama siswa, siswa tersebut akan membandingkan secara bawah sadar mereka apa yang teralami dan apa yang terverbalisasi dalam tulisan di papan tulis.

Keesokkan harinya guru juga bisa melakukan hal yang sama dengan menulis cerita tentang peristiwa yang lain.

Kejadian-kejadian yang lucu, deskripsi tingkah laku yang menarik akan menghidupkan imajinasi atau fantasi anak ketika meresapkan apa yang ditulis sang guru.

Setelah memberi contoh beberapa kali, guru lalu memberikan tugas pada anak untuk menuliskanpengalaman mereka masing-masing. Ingat: yang diutamakan di sini adalah otentisitas anak-anak dalam berkisah lewat tulisan.

Setelah siswa menyerahkan tugasnya, guru memilih cerita mana yang paling menarik dan pantas dibacakan di depan anak-anak didiknya.

Tentu, dalam masa pemelajaran yang panjang, semua karya anak harus punya kesempatan untuk dibaca.

Pujian sangat penting bagi anak-anak. Semua anak pantas mendapat pujian.

Itu yang selalu dilakukan oleh seniman lukis Tino Sidin ketika beberapa dekade yang silam mengasuh acara menggambar untuk anak-anak di TVRI.

Dengan memberikan porsi yang memadai untuk pemelajaran menulis cerita bagi siswa berdasarkan pengalaman sehari-hari, bisa dihipotesiskan bahwa anak-anak ini akan memiliki landasan kokoh dalam mengungkapkan pikiran dan perasaan mereka di kemudian hari.

Itulah salah satu ciri seorang cendekiawan yang kreatif.

Oleh M. Sunyoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014