Paris (ANTARA News) - Pasukan Prancis membebaskan lima pekerja bantuan Mali yang diculik pada Februari oleh salah satu satu kelompok garis keras di negara tersebut, kata para pemimpin Prancis dan Mali, Kamis.

"Sebuah operasi yang dilakukan oleh Angkatan Bersenjata Prancis" berhasil membebaskan lima pekerja -- empat pegawai Palang Merah dan seorang dokter hewan dari organisasi bantuan lain -- setelah "kelompok teroris" menculik mereka pada 8 Februari di wilayah utara Mali, kata presiden kedua negara itu dalam sebuah pernyataan bersama.

Sandera-sandera itu berada dalam kondisi sehat setelah penyerbuan pagi hari di daerah sebelah utara Timbuktu, kata pernyataan tersebut yang dilansir AFP.

Penculikan itu diklaim oleh Gerakan Keesaan dan Jihad di Afrika Barat (MUJAO), sebuah kelompok sempalan dari Al Qaida di kawasan itu.

Kelima orang itu hilang bersama kendaraan mereka di jalan antara kota-kota Kidal dan Gao ketika bekerja di kawasan tersebut.

Seorang pemimpin MUJAO, Yoro Abdoulsalam, mengklaim penculikan itu tiga hari kemudian kepada AFP.

Dalam pernyataan Kamis, Presiden Mali Ibrahim Boubacar berterima kasih kepada Presiden Prancis Francois Hollande dan mengirim "rasa terima kasih yang dalam... atas komitmen Prancis kepada Mali sejak 2013".

Kedua pemimpin itu berjanji terus memerangi "terorisme, kejahatan terorganisir dan penyelundupan narkoba" di kawasan Sahel sebelah selatan gurun Sahara.

Mali, yang pernah menjadi salah satu negara demokrasi yang stabil di Afrika, mengalami ketidakpastian setelah kudeta militer pada Maret 2012 menggulingkan pemerintah Presiden Amadou Toumani Toure.

Masyarakat internasional khawatir negara itu akan menjadi sarang baru teroris dan mereka mendukung upaya Afrika untuk campur tangan secara militer.

Kelompok garis keras, yang kata para ahli bertindak di bawah payung Al Qaida di Maghribi Islam (AQIM), menguasai kawasan Mali utara, yang luasnya lebih besar daripada Prancis, sejak April tahun lalu.

Pemberontak suku pada pertengahan Januari 2012 meluncurkan lagi perang puluhan tahun bagi kemerdekaan Tuareg di wilayah utara yang mereka klaim sebagai negeri mereka, yang diperkuat oleh gerilyawan bersenjata berat yang baru kembali dari Libya. Namun, perjuangan mereka kemudian dibajak oleh kelompok-kelompok muslim garis keras.

Kudeta pasukan yang tidak puas pada Maret 2012 dimaksudkan untuk memberi militer lebih banyak wewenang guna menumpas pemberontakan di wilayah utara, namun hal itu malah menjadi bumerang dan pemberontak menguasai tiga kota utama di Mali utara dalam waktu tiga hari saja.

Prancis, yang bekerja sama dengan militer Mali, pada 11 Januari 2013 meluncurkan operasi ketika militan mengancam maju ke ibu kota Mali, Bamako, setelah keraguan berbulan-bulan mengenai pasukan intervensi Afrika untuk membantu mengusir kelompok garis keras dari wilayah utara.

(Uu.M014)

Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2014