fenomena split voting dalam pemilu presiden (pilpres) secara empiris telah terjadi berulang kali di Indonesia. Hanya partai dengan pemilih fanatik dan mayoritas saja yang dapat menghindari fenomena itu.
Yogyakarta (ANTARA News) - Partai politik berbasis massa Islam perlu mengantisipasi kemungkinan terjadinya "split voting" atau terpecahnya suara simpatisan di akar rumput dalam Pemilu Presiden 2014.

"Perlu dipertimbangkan bahwa penjajakan koalisi dengan partai tertentu baik dengan partai nasionalis maupun partai Islam sendiri belum tentu diikuti oleh massa pemilihnya," kata pengamat politik Universitas Gadjah Mada, Kuskrido Ambardi, di Yogyakarta, Senin.

Menurut Kuskrido, fenomena split voting dalam pemilu presiden (pilpres) secara empiris telah terjadi berulang kali di Indonesia. Hanya partai dengan pemilih fanatik dan mayoritas saja yang dapat menghindari fenomena itu.

"Biasanya massa fanatik dari partai mayoritas yang mau mendengar dan mengikuti keputusan pengurus pusat partainya, misalnya untuk memilih calon presiden tertentu," kata dia.

Hal itu, kata dia, misalnya pernah terjadi pada Pemilu 2014, di mana tidak semua pemilih partai rela memilih calon presiden yang diajukan oleh partainya sendiri.

Pada saat itu Partai Demokrat hanya memeroleh suara 7 persen dalam Pemilu Legislatif 2004, namun justru berhasil memenangkan suara pada Pemilu Presiden dengan capres Susilo Bambang Yudhoyono.

Fenomena split voting, menurut dia, membuktikan bahwa kekuatan di tingkat elit partai dan kekuatan di tingkat elektoral (tingkat massa) tidak serta merta dapat disejajarkan.

"Itu akan sangat kuat kembali terjadi pada pilpres mendatang," katanya.

Melihat kemungkinan itu, kata dia, partai politik berbasis massa Islam harus mampu memastikan soliditas pemilih di tingkat akar rumput untuk mendukung upaya koalisi dan memberikan dukungan pada capres tertentu, meskipun cukup sulit.

Selanjutnya, apabila justru mengajukan calon presiden sendiri atau alternatif dari kalangan partai Islam, juga akan lebih sulit mengingat saat ini belum muncul tokoh partai Islam yang cukup menonjol sebagai capres.

"Kalau misalnya disebutkan Muhaimin Iskandar (PKB), Suryadharma Ali (PPP), Yusril Ihza Mahendra (PBB), serta Hidayat Nur Wahid (PKS), nama-nama itu ternyata juga dari berbagai survei masih belum mampu mengangkat suara," katanya.

Sehingga, menurut Kuskrido, upaya koalisi yang dilakukan oleh partai Islam paling memungkinkan adalah untuk mendapatkan limpahan "berkah" dari partai pemenang demi mendapatkan posisi strategis tertentu dalam kabinet.

"Tapi kalau mereka (partai Islam) tetap mau mengajukan calon presiden sendiri demi pilihan kebijakan partai ya tidak apa-apa, meskipun keberhasilan dalam elektoral sangat kecil. Itu juga merupakan pendidikan politik yang baik," katanya.

(KR-LQH)

Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2014