Beijing (ANTARA News) - "Maaf kenyamanan Anda terganggu. Namun, kami membutuhkan demokrasi sejati," demikian salah satu pernyataan yang disampaikan pengunjuk rasa prodemokrasi di Hong Kong.

Puluhan ribu orang sejak akhir pekan lalu memadati jalan-jalan protokol jantung kota Hong Kong dan pusat pemerintahan.

Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional Tiongkok pada tanggal 31 Agustus silam menolak keinginan warga Hong Kong untuk memilih sendiri pemimpin kota itu pada 2017.

Beijing hanya memperbolehkan warga memilih calon pemimpin yang disetujui pemerintah pusat. Kepala Eksekutif Hong Kong dipilih 1.200 anggota komite dan harus disetujui pemerintah pusat Tiongkok.

Para pengunjuk rasa yang didominasi kaum muda, mahasiswa, dan pelajar sekolah menengah, tak henti-hentinya menyuarakan penolakan mereka atas keputusan Beijing.

Pelajar yang ikut aksi duduk untuk menguasai lapangan Tamar yang juga dikenal sebagai Lapangan Warga Negara.

Gerakan "Occupy Central with Love and Peace" kemudian memicu aksi unjuk rasa besar pada Minggu (28/9) pagi yang bertujuan melumpuhkan kawasan pemerintahan kota dan memberikan tekanan kepada pemerintah Beijing.

Para sukarelawan terlihat menyebarkan makanan dan air bersih. Mereka juga membersihkan sampah bekas makanan yang berserakan.

Di kawasan pemerintahan kota, para pelajar mengumpulkan botol-botol plastik untuk digunakan sebagai kaca mata sebagai pelindung dari semprotan merica atau gas air mata.

Ribuan orang juga berkemah di kawasan distrik Admiralty sebagai upaya menentang keputusan pemerintah Tiongkok. Gerakan ini disebut "Revolusi Payung" karena pengunjuk rasa menggunakan payung untuk menangkal serangan gas air mata dan semprotan merica yang digunakan polisi.

Saksi mata Antara di Hong Kong mengungkapkan hingga Selasa (30/9) malam massa masih memadati jalanan di kota Hong Kong. Para sukarelawan mendirikan tenda logistik yang menyediakan beberapa kardus air mineral, mi instan, dan kudapan ringan lainnya, serta tenda P3K dan alas seadanya untuk tidur.

Beijing sudah menyebut aksi warga itu sebagai aksi ilegal dan mendorong pemerintah Hong Kong melakukan tindakan tegas terhadap para pengunjuk rasa yang dianggap menentang Partai Komunis Tiongkok yang berkuasa.

Hingga kini, telah 78 orang yang ditahan aparat kepolisian setempat dan 40 orang luka-luka.

Komisioner Kepolisian Hong Kong Andy Tsang Wai-hung mengatakan bahwa pihaknya terus berupaya untuk tidak terjadi tindak kekerasan terhadap para pengunjuk rasa hingga tidak ada lagi korban.

Kepala Eksekutif Hong Kong C Y Leung meminta para demonstran untuk segera mengakhiri aksinya agar tidak mengganggu aktivitas masyarakat sehari-hari lebih lama lagi.

"Kegiatan ekonomi, sosial, dan layanan kepada masyarakat kini terganggu akibat demonstrasi beberapa hari ini," katanya.


Bayang-bayang Tiongkok

Inggris mengembalikan Hong Kong kepada Tiongkok pada tahun 1997, dan di bawah kebijakan "satu negara, dua sistem" Tiongkok, Hong Kong menikmati kebebasan berpendapat. Namun, hak memberikan suara mereka dibatasi.

Setelah 17 tahun diserahkan ke Tiongkok, penduduk Hong Kong tetap mengkhawatirkan identitas dan kemerdekaan mereka. Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan.

Beberapa tahun sebelum penyerahan ke Tiongkok, tepatnya 4 Juni 1989 yang merupakan tragedi Tiananmen, menjadi catatan tersendiri bagi warga Hong Kong bahwa Beijing adalah penegak hukum yang siap mengambil tindakan seekstrem mungkin untuk meredam setiap ekspresi kemerdekaan.

Peringatan tahunan tragedi Tiananmen menjadi setara dengan peringatan serangan teroris (9/11) bagi warga Hong Kong. Tak heran jika pada aksi unjuk rasa kali ini pun berembus kalimat "Awas Tiananmen Kedua".

Meski Tiongkok menjanjikan "satu negara, dua sistem", yang menjamin hak otonomi Hong Kong dalam hal sistem politik dan ekonomi hingga 2047, penduduk Hong Kong tetap khawatir Tiongkok akan membatasi kemerdekaan serta memerintah dengan memaksakan kehendak, merenggut jati diri Hong Kong dan menjadikannya kepanjangan tangan Tiongkok.

Ketua Partai Buruh Lee Cheuk-Yan dengan berlinang air mata mengatakan, "Kami sudah kehilangan harapan kepada pemerintah Kami. Kami ingin demokrasi, menentukan masa depan kami untuk generasi kami pada masa yang lebih baik."

Sebagai wilayah administrasi khusus di bawah pemerintahan Tiongkok, Hong Kong tumbuh dan berkembang di bawah tekanan ekonomi dan budaya yang besar.

Reaksi terhadap revolusi komunis di Tiongkok pada tahun 1949 mengubah Hong Kong menjadi pusat kapitalis industri. Di bawah tekanan nasionalisme Mao Zedong, para industrialis Tiongkok memindahkan pabrik-pabrik mereka ke Hong Kong.

Gelombang pengungsi membanjir, ekonomi mulai menggeliat, mengubah Hong Kong sebagai eksportir berbagai komoditas dan mengundang penanam modal dari seantero dunia.

Hong Kong menjadi penolong bagi Tiongkok, antara lain dengan mendukung pasar perumahan negara itu melalui investasi, dan kebutuhan lain yang dibutuhkan Tiongkok.

Kini, seiring dengan meningkatnya tingkat sosial ekonomi, yang pula diikuti dengan daya beli yang tinggi masyarakatnya, Tiongkok lebih banyak membantu Hong Kong, terutama pascaserangan flu burung pada tahun 1997 dan SARS pada tahun 2003.

Tiongkok menyokong stabilitas ekonomi Hong Kong dengan membanjirinya dengan membeli lahan, bangunan, dan aneka barang. "Tiongkok telah memberikan yang terbaik untuk Hong Kong, baik secara politik maupun ekonomi, yakni dengan kebijakan satu negara dua sistem," kata pejabat Kementerian Luar Negeri Tiongkok Konselor Yan.

Ia yakin bahwa Beijing akan tetap memberikan yang terbaik untuk semua warganya, termasuk masyarakat Hong Kong, untuk masa depan yang lebih baik. Akan tetapi, apakah kebijakan "satu negara, dua sistem" telah mewakili rasa demokrasi masyarakat Hong Kong? Seperti apakah masa depan Hong Kong pascakebijakan itu berakhir pada tahun 2047?

Terkait dengan itu, Beijing belum mau berkomentar lebih banyak.

Oleh Rini Utami
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2014