Suasana Jalan Samanhudi, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, yang biasanya ramai dengan lalu lalang kendaraan bermotor, pada Rabu (15/7) sore mendadak berubah menjadi pasar, seperti pasar kaget yang banyak dijumpai di berbagai daerah di Indonesia.

Namun demikian ada yang berbeda jika dibandingkan dengan pasar kaget yang ada di tempat lain di Nusantara, yakni banyaknya petambak bandeng yang menjajakan hasil tangkapannya di pasar itu, sehingga pasar kaget ini pun dikenal sebagai pasar bandeng.

Hadirnya ratusan petambak bandeng yang kebanyakan dari wilayah pantai utara atau pantura, seperti Gresik, Lamongan dan Kabupaten Tuban itu konon bagian dari sejarah Kerajaan Giri Kedhaton, atau Sunan Giri. Sunan Giri adalah salah satu dari sembilan wali penyebar agama Islam di Pulau Jawa yang populer dengan sebutan Wali Songo.

Jika melihat literatur sejarah Gresik, pasar bandeng yang selalu hadir di akhir Ramadhan atau dua malam terakhir sebelum malam takbiran, tepatnya pada H-3 dan H-2 Lebaran adalah bagian dari tradisi peninggalan murid Sunan Giri untuk menyambut datangnya Lebaran.

Kegiatan pasar bandeng dilakukan dengan tujuan untuk memeriahkan hari kemenangan, dan sebagai rasa syukur atas keberhasilan dalam menjalankan ibadah puasa, sekaligus menunjukkan kepiawaian dalam bidang pertambakan ikan bandeng.

Salah satu pengunjung rutin pasar bandeng, Matsujono yang berasal dari wilayah Martadinata, Kabupaten Gresik, mengaku setiap tahun selalu mengunjungi pasar tersebut untuk membeli ikan bandeng.

"Setiap tahun saya ke sini mas, biasanya membeli ikan bandeng buat Lebaran atau dimakan saat malam takbiran," ucap Matsunjono yang mengaku selalu mengajak sanak keluarga untuk hadir di pasar tersebut.

Dia mengatakan bahwa keberadaan pasar bandeng sangat membantu masyarakat Gresik, sebab masyarakat di wilayah pantura tidak perlu pergi jauh ke Surabaya untuk membeli kebutuhan Lebaran.

Selain itu, kemeriahan pasar bandeng juga sangat membantu ekonomi petambak di wilayah pantura, karena mereka bisa langsung menjajakan atau menjual bandeng ke pembeli tanpa melalui perantara.

Ia menjelaskan bahwa hal yang berbeda antara pasar badeng dengan pasar ikan pada umumnya, yakni banyak tokoh Gresik yang hadir dan mengikuti acara lelang bandeng tersebut.

Selain itu, ikan bandeng di tempat ini dia nilai berbeda dengan yang ada di pasaran, karena pembeli dapat merasakan bandeng yang gurih, tidak ada bau tanah dan ukurannya juga besar. Bahkan ada kebiasaan orang kaya atau berduit yang senang berburu bandeng besar serta bermutu terbaik di arena itu.

Salah satu petambak dari Desa Ngasin, Kecamatan Balongpanggang, Gresik, Toyyiba, mengaku keberadaan pasar bandeng menjadi agenda tahunan para petambak untuk beradu gengsi mencari ikan bandeng berukuran besar.

Ia mengatakan bahwa ikan bandeng berukuran besar itu kemudian dilelang bersama pejabat Pemkab Gresik, dan dijadikan sebagai ikon atau lambang dalam kegiatan itu.

"Hari ini saya mempunyai ikan bandeng berukuran berat 7 kg dan panjang 80 centimeter, dan ini sepertinya paling besar tahun ini," ucap Toyyib dengan bangga.

Pengusaha Mulai Masuk

Menurut budayawan asal Kabupaten Gresik Muhammad Nizam keberadaan pasar bandeng kini berbeda dengan dahulu, sebab minat petambak untuk menjajakan hasil lautnya sedikit menurun dibanding jika dengan beberapa tahun lalu.

"Dulunya pasar bandeng digerakkan oleh masyarakat bawah, khususnya petambak untuk mencari uang buat merayakan Lebaran. Namun kini, sejumlah pengusaha sudah mulai masuk, sehingga masyarakat Gresik atau petambak asli hanya jadi penonton," kata dia.

Meski demikian, Nizam yang asli warga Gresik ini mengaku keberadaan pasar bandeng yang digelar rutin setiap tahun merupakan kekuatan budaya lokal dalam menggerakkan ekonomi masyarakat.

"Pasar bandeng awalnya sebuah gerakan masyarakat golongan menengah ke bawah, seperti petambak dan murid Sunan Giri untuk menyambut Lebaran," ucap Nizam, yang dikenal akrab dengan berbagai golongan masyarakat di Kabupaten Gresik ini.

Oleh Abdul Malik Ibrahim
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015