Jakarta (ANTARA News) - Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mendesak pemerintah di berbagai daerah untuk memperkuat pengawasan terhadap penggunaan "trawl" yang dikategorikan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai alat tangkap yang merusak.

"Permasalahan konflik dan kerusakan sumber daya pesisir dan laut akibat jaring pukat trawl belum juga terselesaikan hingga saat ini," kata Kepala Bidang Pengembangan Hukum dan Pembelaan Nelayan KNTI Marthin Hadiwinata dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin.

Ia mencontohkan di Tanjung Balai Sumatera Utara, nelayan tradisional masih menyaksikan maraknya pukat tarik ganda (double pair trawl) beroperasi pada malam hari.

Marthin memaparkan inefektivitas pengawasan laut itu juga disebabkan oleh permasalahan tumpang-tindih kewenangan pengawasan dan penegakan hukum di wilayah laut.

"Situasi ini terjadi antara berbagai lembaga negara yang meliputi KKP, TNI AL, Kejaksaan, Kepolisian, Menteri Luar Negeri, Bakamla (Badan Keamanan Laut) sendiri, dan berbagai lembaga lainnya yang mencapai 13 lembaga negara," katanya.

Akibat dari hal itu, kata dia, adalah tidak adanya pengelolaan anggaran yang efektif, efisien, tepat sasaran, tepat guna, serta perbedaan standardisasi yang melemahkan pengawasan laut.

Sebelumnya, alat tangkap tidak ramah harus dimusnahkan karena menghambat pertumbuhan biota laut dan mengakibatkan telur ikan dan ikan yang masih kecil kena semua dan itu mengakibatkan kelangkaan ikan di laut, kata Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.

Menteri Susi di Indramayu, Jawa Barat, Kamis (26/11), mengharapkan semua alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dimusnahkan, baik itu di Indramayu maupun di seluruh Indonesia.

Ia mengemukakan bahwa masih banyak nelayan yang menggunakan alat tangkap tidak ramah lingkungan, padahal jika alat tangkap itu digunakan terus sudah bisa dipastikan di laut akan mengalami kelangkaan ikan.

Pewarta: Muhammad Razi Rahman
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015