Seekor Paradisaea minor jantan bergerak lincah di ketinggian delapan meter, bulu-bulunya yang berwarna oranye kekuningan berayun-ayun bersamaan dengan suara nyaring dan kepakan sayap yang memecah kesunyian pagi.

Tidak lama, pejantan lain mendekati, bertengger pada dahan pohon yang sama dan mulai ikut membuat keributan.

Belum genap pukul 07.00 WIT, namun hutan lebat dan lembab Sawendui di utara Kepulauan Yapen, Papua, pagi itu seketika riuh oleh ulah mereka. Tidak puas beraksi di satu dahan mereka berpindah ke dahan lain yang lebih tinggi.

Berulang kali mereka melakukan hal sama, mengeluarkan suara nyaring sambil berpindah dahan pada pohon yang sama. Dua pejantan itu bertarung hingga titik darah penghabisan, sampai ada sang betina yang luluh dan bercumbu dengan sang juara di pagi itu.

Itu lah Cenderawasih, burung "surga" dari timur Indonesia yang memiliki 39 cara untuk merayu si betina. Tidak heran jika ornithologist asal Inggris Ed Scholes menyebutnya the survival of the sexiest, karena tidak ada Cenderawasih jantan yang bisa mempertahankan garis keturunannya jika tidak bisa tampil lebih seksi di antara jantan lainnya.

Untuk menemukan satu spesies burung "surga" di Yapen ternyata tidak begitu sulit, karena burung yang juga dikenal dengan sebutan Cenderawasih kuning-kecil ini begitu setia melakukan aksi rayuan pada sang betina pada waktu, lokasi, pohon, dan dahan yang sama.

"Iya, mereka tidak pernah berpindah, selalu di sana, selalu pada pohon-pohon yang sama. Mereka melakukannya di pagi hari antara pukul 06.00 hingga 08.00 WIT, dan di sore hari antara pukul 15.00 hingga sebelum 17.00 WIT," kata salah seorang penjaga habitat Cenderawasih di Sawendui Abdul Halim (31) kepada Antara saat melakukan pengamatan Cenderawasih bersama tim Ekspedisi Saireri WWF Indonesia, Senin (13/6).

Tidak hanya di satu lokasi itu saja, karena di seberang Sungai Kasuari yang membelah hutan Sawendui, juga ada lokasi lain tempat burung-burung Cenderawasih jantan lainnya melancarkan aksinya. Tempat menari dan merayu burung ini tidak pernah beralih dari kayu besi (Instia bijuga), pala (Palaquim amboinensis), beringin (Ficus sp), dan jambu hutan (Eugenia sp).

Namun pagi itu tidak ada yang berhasil menjadi don juan, tarian dan rayuan si jantan gagal meluluhkan hati si betina. Lebih dari 20 menit beberapa jantan bertarung dengan mengepakan sayap dan menjuntaikan ekor, bergerak lincah ke sana kemari, namun cumbuan "maut" Cenderawasih gagal total.

Jumlah betina yang lebih sedikit ketimbang jantan di hutan Sawendui tersebut kadang membuat rayuan maut burung surga tak membuahkan hasil, ujar Abdul, laki-laki keturunan Serui--Makassar itu. Berbeda dengan di Kampung Barawai yang justru jumlah betinanya lebih banyak dari jantan.

Tarian Cenderawasih itu luar biasa, paling tidak itu yang digambarkan Kepala Bidang Dinas Pendidikan Sekolah Dasar Kabupaten Kepulauan Yapen Marinus Manufamdu saat berbincang di atas KM Gurano Bintang saat tim Ekspedisi Saireri berlabuh di perairan Barawai.

Gerak kaki sang burung ini lah yang menjadi gerak dasar dari setiap tarian yang ada di di tujuh wilayah adat besar di Tanah Papua, kata dia.

Begitu sakral masyarakat Papua menempatkan Cenderawasih, karenanya hanya tujuh kepala suku raja saja yang boleh mengenakannya sebagai mahkota. Bahkan seorang gubernur hingga presiden pun sebenarnya tidak boleh mengenakannya.

Sayangnya penggunaannya meluas bukan hanya oleh kepala suku raja, hingga perburuan pun menjadi ancaman terbesar. Kebutuhan uang dengan cepat sering kali membuat masyarakat memburu burung dengan status dilindungi ini.

"Kadang kalau ada yang butuh uang mendesak untuk biaya transportasi keluar pulau, seperti untuk tes panggilan kerja, mereka memburu Cenderwasih. Itu cara yang paling cepat dapat uang, harga burung yang sudah diberi air keras bisa lebih dari Rp2 juta," ujar Abdul.

Yapen yang berada di Teluk Cendrawasih dan menjadi bagian dari wilayah adat besar Saireri hanya memilik empat dari total 39 spesies Cenderawasih, kata staf magang WWF Indonesia Program Papua yang juga seorang ornithologist lulusan Fakultas Biologi Universitas Cenderawasih Muhammad Ihsan.

Keempat spesies tersebut antara lain Paradisea minor, Cicinnurus regius, Cicinnurus magnificus, dan Sicklebill.

Korben dari Biak

Setelah menyaksikan keelokan Cenderawasih di Yapen, Ekspedisi Saireri WWF Indonesia pun membawa tim mengunjungi Pulau Pasi di bagian timur gugusan Kepulauan Padaido, Biak Numfor, yang masih menjadi bagian dari Teluk Cenderawasih, Rabu (15/6).

Ada kisah yang melegenda di Biak, tentang kemunculan Korben (baca: Korwen). Menurut keyakinan masyarakat, Korben, memiliki wujud ular naga berukuran relatif besar dengan mayoritas bagian tubuhnya berwarna hijau dan bersisik tajam, memiliki empat kaki layaknya seekor Komodo.

Ular naga itu pernah muncul dan mengganggu warga kampung yang bermukim di utara Biak.

Tete (kakek) Thom Kafiar (70) kepada Forest Officer WWF Indonesia Program Papua Rianto Stev Amir dan Antara, Minggu (19/6) menggambarkan bahwa kemunculan Korben berhasil membuat warga dirundung rasa takut, berlari tunggang-langgang dan akhirnya terpecah menjadi banyak kelompok.

"(Kemunculan Korben) pertanda buruk," kata Thom yang ternyata lulusan Sekolah Rakyat Pasi pada 1958.

Benar saja, kemunculan Korben yang diyakini masyarakat merupakan jelmaan manusia itu diikuti oleh peristiwa besar yakni Perang Dunia II di mana Biak menjadi medan perang sengit antara pasukan sekutu dengan Jepang.

Perang itu membuat moyang mereka hidup tersebar di sejumlah Kepulauan Padaido, memutuskan keluar dari bagian utara Biak dan mencari tempat baru untuk hidup lebih tenang jauh dari desingan peluru dan hantaman bom milik tentara sekutu dan Jepang.

Pulau Mbromsi yang tepat berada di utara Pulau Pasi pada awalnya justru menjadi lokasi awal sang moyang menetap. Sampai akhirnya ada di antara mereka diminta untuk menyeberang ke Pulau Pasi yang awalnya belum bernama.

Pulau Pasi yang dikelilingi pasir halus berwarna putih bersih kala itu tertutup rapat oleh mangrove, mustahil mendarat di sana jika pohon-pohon khas pesisir penahan ombak dan tempat berpijah biota laut ini tidak dicabut.

"Pohon masih lebat. Kita bilang pasi (cabut) pohonnya supaya bisa masuk perahunya, dari sana asal nama Kampung Pasi," ujar tete Thom yang ditemani dengan setia oleh sang istri, nenek Sarje Koibur, saat bercerita di bawah pohon jambu rindang di pekarangan rumahnya.

Kakek dengan janggut putih asli kelahiran Biak pada 9 Mei 1946 itu begitu bersemangat menceritakan asal usul kampungnya beserta masyarakat yang mendiami Pulau Pasi dan Mbromsi.

Ia lalu menyodorkan buku tulis, buku sejarah, hingga buku gambar tempat dirinya menggambarkan sosok Koben kepada Stev, sebagai penguat informasi yang baru diceritakannya.

Tarian sang Cenderawasih yang memukau dan cerita rakyat tentang Korben yang akan selalu diingat turun temurun, adalah sedikit dari banyak hal yang didapat dari Ekspedisi Saireri yang dimulai sejak 1 Juni.

Selama 21 hari, dengan menumpang kapal Motor (KM) Gurano Bintang, tim melakukan perjalanan untuk mengetahui kondisi sosial, ekonomi, lingkungan darat, hingga laut kawasan Teluk Cenderawasih. Banyak data yang berhasil didapatkan yang berkaitan dengan Tujuan-Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

Tetapi yang tidak kalah menarik, tim juga mendapatkan pengalaman dan kisah-kisah dari bumi Papua.

Pewarta: Virna Puspa Setyorini
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2016