Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah riset menyebutkan bahwa kasus intoleransi paling banyak terjadi di Jawa Barat (Jabar) yang justru dianggap kontradiktif dengan kultur masyarakat Sunda yang terkenal sangat toleran.

Direktur The Islah Center (TIC) Mujahidin Nur di Jakarta, Senin, mengatakan penelitian sejumlah lembaga swadaya masyarakat dalam beberapa tahun terakhir selalu menempatkan Jawa Barat pada urutan pertama provinsi yang paling intoleran.

"Tingginya angka intoleransi di Jawa Barat menjadi kontradiktif dengan kultur dan budaya masyarakat Sunda sebagai 90 persen suku yang tinggal di Jabar yang terkenal sebagai masyarakat yang toleran, optimistis, periang, sopan, dan bersahaja," kata Mujahidin yang juga pengamat masalah terorisme di TIC sebagai lembaga yang selama ini fokus terhadap isu-isu kerukunan beragama dan toleransi di Indonesia.

Ia mencontohkan sejumlah riset di antaranya Setara Institute pada 2015 menempatkan Jawa Barat sebagai daerah yang paling banyak kasus pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) yakni sebanyak 44 kasus. Sementara Wahid Foundation juga menyebut hal yang sama.

Selama 2015, lembaga itu menyebut telah terjadi 46 peristiwa pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di provinsi tersebut.

Begitu juga berdasarkan hasil monitoring yang dilakukan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung sepanjang 2005 hingga 2011 terdapat 383 peristiwa tindak kekerasan dan intoleransi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jawa Barat.

Riset lain menyebutkan, sejak Januari 2013 sampai Januari 2014 terjadi sebanyak 76 peristiwa intoleransi, peristiwa tersebut terjadi di beberapa daerah di Jawa Barat seperti, Depok, Bekasi, Cianjur, Sukabumi, Cirebon, Bogor, dan Kabupaten Tasikmalaya.

Padahal menurut Mujahidin, dalam sejarahnya masyarakat Sunda dikenal sebagai masyarakat yang sangat toleran.

"Seorang penulis berkebangsaan Portugis, Tome Pires dalam laporannya kepada Raja Emanuel, Summa Oriental Que Trata Dar Maroxo Ate Aos Chins atau ikhtisar wilayah timur dari laut merah hingga negeri Tiongkok menyebut masyarakat Sunda sebagai masyarakat yang toleran, jujur, dan pemberani," katanya.

Ia menambahkan, masyarakat Sunda memiliki falsafah hidup yang toleran termasuk penganut ajaran agama Islam yang taat.

"Karenanya, sungguh miris apabila di tengah masyarakat Sunda yang mempunyai kekayaan warisan leluhur itu justru intoleransi berkembang pesat," katanya.

Sejumlah intoleransi yang dimaksud Mujahidin bahkan juga dilakukan dalam bentuk 41 perda yang dianggap diskriminatif dan intoleransi dalam bentuk penyegelan, penutupan rumah ibadah, pembubaran ibadah kelompok atau agama tertentu, bahkan terjadinya kekerasan fisik.

Oleh karena itu, Mujahidin mengajak semua pihak untuk membangun kembali semangat toleransi terutama di kalangan masyarakat Jawa Barat.

"Dengan begitu keharmonisan dan keindahan dalam perbedaan tercipta dalam struktur masyarakat yang kaya akan tradisi ini," katanya.

Pewarta: Hanni Sofia Soepardi
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2016