Di situlah saya bertahan, berpegangan ke kayu. Sekira dua jam sampai ada nelayan yang datang untuk menolong."
Batam (ANTARA News) - Musibah kapal karam yang membawa 101 Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dari Johor, Malaysia, ke Batam pada awal November 2011 turut mengubur mimpi Nurhalida agar dapat membiayai sekolahnya sendiri.

Sekitar setahun yang lalu, Nurhalida (16) yang baru saja lulus sekolah menengah pertama (SMP) bertekad baja hendak ke Malaysia untuk bekerja. Mimpinya hanya satu, yakni mengumpulkan uang untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah atas (SMA).

"Saya ingin sekali masuk SMA. Tapi, orang tua tidak punya dana, makanya saya berusaha mencari sendiri," kata Nurhalida, yang ditemui di penampungan Nilam Suri Kota Batam, Kepulauan Riau (Kepri).

Meski ditentang, perempuan yang akrab disapa Aida itu tetap pada pendiriannya.

Perempuan asal Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), itu berjanji pada diri sendiri untuk hanya bekerja sebentar di Negeri Jiran sampai dana sekolah terkumpul.

Sejumlah dokumen terpaksa dikaburkan, agar Nurhalida bisa berangkat ke Malaysia melalui jalur resmi dan tercatat sebagai TKI legal.

Setelah sekira delapan bulan bekerja sebagai asisten rumah tangga, ia berhasil mengumpulkan ribuan ringgit Malaysia.

Anak ketiga dari enam bersaudara itu pun memberanikan diri menghadap majikan, dan mengutarakan keinginannya untuk pulang ke Tanah Air. Ia pun diizinkan.

"Majikan saya baik, tidak ada masalah," tutur perempuan muda itu.

Aida pun dipulangkan majikan kepada agen yang menjadi perantaranya. Agen pun meluluskan keinginan Aida untuk pulang.

Tapi, agen bukannya mengantar perempuan itu pulang melalui jalur resmi. Aida malah diberikan petunjuk untuk pulang melalui jalur gelap (ilegal), melalui hutan dan menumpang kapal kecil untuk sampai di Batam.

Agen pun tidak membayarkan biaya kepulangannya. Aida harus merelakan tabungannya untuk pulang.

Ia diantar melalui hutan untuk sampai ke pelabuhan yang kelam di Malaysia. Bersama lebih dari 100 TKI lainnya, Aida kemudian mengarungi lautan di tengah gelombang yang tinggi.

"Di sana saya berkenalan dengan tiga orang, semuanya perempuan," Aida bercerita.

Tiga teman barunya itu duduk bersebelahan di kapal tanpa tempat duduk. Semuanya lesehan di kapal fiber yang melaju menembus waktu di tengah malam.

Sampailah kejadian naas itu. Kapal tersangkut di karang, disusul gelombang besar yang membalikkan kapal bermuatan penuh.

Aida, bersama tiga kawan barunya terhempas ke dalam air laut yang gelap.

Tas tanpa resleting yang disandang dibahunya ikut melayang. Uang sebanyak 2.900 ringgit dan Rp2 juta berhamburan di udara, sebelum berserakan di air yang dingin.

Secepat itu, Aida kehilangan mimpi sekaligus dana untuk membiayai sekolahnya sendiri terhempas. Jangankan untuk mengumpulkan lagi uang yang tercecer, menyelamatkan nyawa sendiri pun sulit.

"Teman saya yang baru, kalau tidak salah namanya Mirna memeluk saya. Kami saling berpelukan, takut tenggelam," ceritanya bernada lirih.

Mereka lama berpelukan, sampai Aida merasa tubuh kawannya itu semakin berat, membawanya jauh ke dalam air.

"Saya berusaha melepaskan badannya. Dia bilang, tolong..., saya tak kuasa, saya nak bantu dia," lanjutnya.

Namun, badan kawannya itu jauh semakin berat terbawa ke bawah air. Kawannya itu tidak lagi memeluk badan Aida, melainkan celana panjangnya, kemudian menariknya hingga lepas dan menghilang dari jangkauan mata.

Aida mencari. Dan, ia menemukan mulut teman barunya sudah dalam keadaan menganga. "Dia meninggal," ujarnya.

Limbung, Aida juga merasa tidak ada harapan. Seluruh kepalanya berada di bawah permukaan air. Sampai seorang TKI lain menarik rambutnya, dan menyeretnya hingga dapat berpegangan ke atas sebatang kayu.

"Di situlah saya bertahan, berpegangan ke kayu. Sekira dua jam sampai ada nelayan yang datang untuk menolong," ujar anak petani itu.

Aida ditolong nelayan Kota Batam pada dini hari, dan langsung dievakuasi ke Rumah Sakit Bhayangkara Kepolisian Daerah (Polda) Kepri dalam keadaan setengah sadar.

Begitu sadar, ia pun diminta mengidentifikasi korban meninggal yang berhasil ditemukan tim. Di sana ia melihat jenazah tiga kawan barunya, termasuk perempuan yang ingin diselamatkannya.

"Saya beruntung bisa selamat," katanya.

Nuraida bersama 38 korban selamat lainnya diinapkan di penampungan Nilam Suri sambil menunggu pemulangan ke daerah masing-masing.

Ia pun kembali merangkai mimpinya yang sempat tercebur ke laut.

"Saya sudah telepon orang tua. Kakak saya yang bekerja di Saudi pun janji akan membiayai uang sekolah saya untuk SMA," katanya. Kali ini ia tersenyum, meski matanya masih sering menerawang.

Aida bertekad, apa pun yang terjadi harus melanjutkan sekolah.

Sekarang, ia menanti kepulangan ke Lombok, bertemu orang tua, dan segera mengenakan seragam putih-abu-abu.

Sementara itu, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungn Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) akan menanggung seluruh biaya pemulangan korban selamat dan meninggal dalam peristiwa tenggelamnya kapal pengangkut TKI ilegal di Batam.

"Baik korban meninggal ataupun selamat kami tanggung pemulangannya hingga kampung halaman," kata Sekretaris Utama BNP2TKI, Hermono.

Pemulangan 39 orang korban selamat masih membutuhkan waktu karena mereka masih dibutuhkan untuk mengenali setiap jenazah yang sudah ditemukan.

"Mereka diminta untuk membantu agar jenazah bisa diidentifikasi. Bila sudah selesai juga akan kami pulangkan," katanya.

Hingga Jumat sore (4/11) tim pencari dan penyelamat (search and rescue/SAR) gabungan menemukan 54 jenazah dari peristiwa naas tersebut. Enam orang dinyatakan hilang dan masih dalam proses pencarian.

Oleh Yunianti Jannatun Naim
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2016