Beijing (ANTARA News) - Sebuah fasilitas pembangkit listrik yang belum selesai dibangun di wilayah timur China, pada Kamis, runtuh sehingga menewaskan setidaknya 67 orang, demikian laporan media setempat, lapor Reuters.

Satu orang pekerja masih terjebak di dalam reruntuhan.

Insiden mematikan merupakan hal yang relatif biasa terjadi di kawasan-kawasan industri China sehingga memicu kekhawatiran atas kurangnya standar keamanan. Pertumbuhan ekonomi cepat yang terjadi sepanjang tiga dekade terakhir dibarengi dengan kecelakaan kerja dalam pertambangan sampai dengan pabrik-pabrik.

Dua pekerja yang terlika kini sudah berada di rumah sakit setelah keruntuhan pembangkit listrik pada pukul 07.00 pagi waktu setempat di Fengcheng, Provinsi China, demikian laporan dari sebuah stasiun televisi milik pemerintah.

Stasiun televisi itu melaporkan jumlah kematian sebanyak 67 orang, sementara petugas tengah berupaya menyelamatkan satu orang yang masih terjebak di antara reruntuhan.

Perdana Menteri China Li Keqiang sudah memerintahkan penyelidikan dan mendesak agar mereka yang bertanggung jawab segera dihukum, demikian pemerintah pusat menyatakan.

"Penguatan pengawasan dan langkah-langkah pencegahan, akan menghindari kecelakaan besar seperti ini terjadi kembali di kemudian hari," kata Li sebagaimana dikutip dari laman resmi pemerintah China.

Kantor berita China, Xinhua, tidak menjelaskan tipe fasilitas pembangkit listrik yang runtuh, namun laporan-laporan sebelumnya menyatakan bahwa fasilitas tersebut memproduksi listrik dari batu bara. China sudah berulangkali berjanji untuk memperbaiki aspek keamanan bangunan itu.

Sementara itu Presiden Xi Jinping mengatakan bahwa otoritas pemerintah seharusnya sudah belajar dari meledaknya fasilitas penyimpanan bahan kimia berbahaya di pelabuhan kota Tianjin yang menewaskan lebih dari 170 orang pada tahun lalu.

Tidak lama setelah ledakan itu, Yang Dongliang dipecat dari jabatannya sebagai direktur Administrasi Negara untuk Keamanan Pekerja. Yang kemudian didakwa dengan tudingan korupsi.

Dalam pengadilan yang berakhir pada Kamis, dia mengaku menerima suap dan hadiah senilai 4,12 juta dolar AS, kata media setempat. Hukuman untuk Yang akan diputuskan pada sesi pengadilan lainnya.

Penasihat hukum Yang hingga kini belum berkomentar atas putusan hukum tersebut.
(Uu.G005)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016