Jakarta (ANTARA News) - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan Kementerian Keuangan saat ini masih menangani persoalan piutang dari 22 obligor yang terkait dengan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

"Pokoknya 22 obligor yang ditangani Kemenkeu," kata Sri Mulyani di Jakarta, Jumat.

Sri Mulyani belum mau menjelaskan secara detail proses penyelesaian kasus 22 obligor BLBI yang ditangani oleh Kementerian Keuangan ini.

Direktur Jenderal Kekayaan Negara Sonny Loho menambahkan jumlah total piutang yang sedang dikejar oleh Kementerian Keuangan dari 22 obligor tersebut mencapai Rp31 triliun.

"Itu yang masih kita urus, yang dulu waktu dilimpahkan, belum selesai. Itu diurusnya di Kemenkeu, ada yang kerja sama dengan Kejaksaan dan Kepolisian," ujarnya.


Baca juga: (Menkeu harapkan pejabat pajak bangun reputasi bersih)


Sonny memastikan proses penagihan tersebut terus berjalan sesuai ketentuan hukum yang berlaku, termasuk melalui prosedur audit untuk menghindari terjadinya sengketa.

"Kalau masih ada perkara hukum, kita beresi dulu. Kadang-kadang ada yang berpendapat mereka tidak ada utang lagi, tapi menurut kita masih ada. Ini masih diusahakan terus," tuturnya.

Terkait kasus BLBI yang dibuka kembali oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Sonny tidak bisa berkomentar banyak karena Surat Keterangan Lunas (SKL) dalam kasus tersebut sudah diterbitkan, meski kemudian dipermasalahkan.

"Karena waktu sudah dilimpahkan, sudah selesai," ujarnya.

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung sebagai tersangka dalam kasus BLBI.

KPK menetapkan Syafruddin sebagai tersangka karena saat menjabat sebagai Kepala BPPN pada 2004 diduga mengusulkan pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham atau Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham atau pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI).

Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses ligitasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp4,8 triliun.

Hasil restrukturisasi itu adalah sebanyak Rp1,1 triliun dapat dikembalikan dan ditagihkan ke petani tambak. Sedangkan, sisanya Rp3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi tersebut.

Dengan demikian, terdapat kewajiban BDNI sebesar Rp3,7 triliun yang belum ditagihkan dan menjadi kerugian negara.

Pewarta: Satyagraha
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2017