London (ANTARA News) - Lebih dari tujuh juta anak di Afrika Barat dan Tengah harus meninggalkan rumah akibat kekerasan, kemiskinan dan perubahan iklim, lebih dari setengah jumlah keseluruhan pengungsi di wilayah ini, kata Badan PBB urusan Anak (UNICEF) pada Rabu.

Namun kebanyakan anak mencari perlindungan di negara-negara Afrika lainnya, dan hanya satu dari lima anak yang melakukan perjalanan berbahaya ke Eropa, kata UNICEF dalam sebuah laporan.

Setengah juta orang telah melintasi Laut Tengah dari Libya menuju Italia selama empat tahun belakangan, terutama warga sub Sahara yang membayar penyelundup untuk memberangkatkan mereka melintasi padang pasir menuju Libya, dan dilanjutkan menuju Eropa dengan perahu yang tidak layak.

Sedikitnya 20.000 pengungsi ditahan di Libya, pintu gerbang utama bagi mereka yang mencoba mencapai Eropa melalui jalur laut, menurut Organisasi Internasional untuk Migrasi.

"Saya pergi untuk membantu ibu saya," kata Malik, seorang warga negara Gambia berusia 16 tahun yang melakukan perjalanan ke Libya dalam usahanya untuk mencapai Italia.

Malik mengatakan bahwa saat itu ia berusia 15 tahun ketika awal melakukan perjalanan, namun ternyata ia diculik oleh para penyelundup manusia untuk mendapatkan uang tebusan di Libya selama berbulan-bulan.

"Saya dipukuli dengan tongkat, dengan pipa dan dengan rantai sepeda motor. Setiap hari mereka menghajar saya dan menuntut uang," katanya seperti dikutip dalam laporan tersebut.

"Saya memberitahu kepada anak lainnya tentang apa yang telah saya lihat, jika saya bisa menghentikan niat seseorang untuk pergi, maka saya melakukan sesuatu yang baik," kata Malik yang dibebaskan atas bantuan sesama pengungsi.

Kurangnya peluang ekonomi, terjadinya perang dan perubahan iklim memaksa lebih dari 12 juta orang di Afrika Barat dan Tengah untuk mengungsi, kata UNICEF dalam laporannya.

Perubahan iklim sudah menjadi kenyataan pahit di banyak bagian Afrika, dimana suhu meningkat dan semakin tidak menentunya curah hujan telah mengganggu produksi pangan, sehingga kelaparan meluas, memaksa para petani untuk meninggalkan tanah mereka.

"Kecuali perencanaan jangka panjang oleh pemerintah dan masyarakat sipil dilakukan untuk mengantisipasi guncangan iklim ini dan perpindahan berikutnya, dampak yang terjadi akibat permasalahan ini akan menciptakan hasil yang merugikan bagi anak-anak di seluruh daerah," kata laporan tersebut.

Satu dari lima orang di Republik Afrika Tengah - sekitar satu juta orang - telah mengungsi sejak konflik dimulai pada 2013 antara pemberontak Muslim Seleka dan kelompok Kristen, kata Dewan Pengungsi Norwegia (NRC).

Pada 2016 saja, lebih dari 922.000 orang terpaksa meninggalkan rumah mereka akibat konflik di Republik Demokratik Kongo, dibandingkan dengan di Suriah yang mencapai 824.000, menurut Pusat Pemantauan Pengungsi Internal, yang merupakan bagian dari NRC.

"Jumlah anak-anak di Afrika Barat dan Tengah yang mengungsi lebih banyak dari sebelumnya. Banyak dari mereka mencari keselamatan atau hidup yang lebih baik," kata direktur regional UNICEF Marie-Pierre Poirier.

"Namun sebagian besar anak-anak ini mengungsi masuk ke negara-negara Afrika lainnya, bukan ke Eropa atau tempat lain. Kita harus memperluas diskusi tentang perpindahan pengungsi yang mencakup kerentanan semua anak-anak yang melakukan perjalanan dan memperluas sistem untuk melindungi mereka, terhadap semua daerah yang mereka tuju," katanya.

Secara global, 65,6 juta orang mengungsi dan hampir setengah dari mereka adalah anak-anak, kata badan urusan pengungsi PBB, UNHCR, demikian menurut Reuters Foundation.

(Uu.Aulia/KR-AMQ)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017