Jakarta (ANTARA News) - Jaksa mendakwa mantan anggota Komisi II DPR dari fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani memberikan keterangan palsu dalam sidang perkara korupsi pengadaan KTP-Elektronik karena mencabut Berita Acara Pemeriksaan (BAP) pada tahap penyidikan.

Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Kresno Anto Wibowo dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Koruosi Jakarta, Kamis, menyatakan bahwa Miryam sebagai saksi perkara korupsi proyek Pengadaan Paket Penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan secara Nasional (KTP Elektronik) tahun 2011-2012 di Kementerian Dalam Negeri untuk terdakwa Irman dan Sugiharto dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberikan keterangan yang tidak benar.

"Yaitu dengan sengaja memberikan keterangan dengan cara mencabut semua keterangannya yang pernah diberikan dalam BAP penyidikan yang menerangkan antara lain adanya penerimaan uang dari Sugiharto dengan alasan pada saat pemeriksaan penyidikan telah ditekan dan diancam oleh tiga orang penyidik KPK padahal alasan yang disampaikan terdakwa tersebut tidak benar," tambah Kresno.

Pencabutan BAP itu terjadi dalam sidang 23 Maret 2017, saat Miryam menjadi saksi untuk terdakwa Irman dan Sugiharto dalam sidang kasus korupsi KTP-E di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

"Sebelum memberikan keterangan sebagai saksi di persidangan, terlebih dulu terdakwa bersumpah sesuai agama Kristen bahwa akan memberikan keterangan yang benar.

Dalam sidang itu, menurut jaksa, ketua majelis hakim menanyakan kepada Miryam mengenai keterangan yang pernah dia berikan dalam pemeriksaan penyidikan sebagaimana tertuang dalam BAP 1 Desember 2016, BAP tanggal 7 Desember 2016, BAP tanggal 14 Desember dan BAP tanggal 24 Januari 2017 yang diparaf dan ditandatangi oleh Miryam, yang sudah disumpah sebelum bersaksi.

Miryam membenarkan paraf dan tanda tangannya yang ada dalam semua BAP namun mencabut semua keterangannya yang pernah diberikan dalam BAP tersebut dengan alasan isinya tidak benar karena pada saat penyidikan telah ditekan akan diancam oleh tiga orang penyidik KPK yang memeriksanya.

Hakim kembali mengingatkan agar Miryam memberikan keterangan yang benar di persidangan karena sudah disumpah.

Menurut hakim keterangan Miryam dalam BAP sangat runut, sistematis dan tidak mungkin bisa mengarang keterangan seperti itu sehingga kalau mencabut keterangan harus dengan alasan logis agar bisa diterima oleh hakim.

Hakim juga mengingatkan Miryam mengenai ancaman pidana penjara apabila memberikan keterangan yang tidak benar sebagai saksi.

Meski sudah diperingatkan hakim, Miryam tetap menerangkan bahwa dia telah ditekan dan diancam penyidik KPK dalam pemeriksaan di tingkat penyidikan, karena itu hakim lalu memerintahkan penuntut umum pada sidang berikutnya menghadirkan tiga penyidik yang pernah memeriksa Miryam sebagai saksi verbal lisan yang akan dikonfrontir.

Pada 30 Maret 2017, jaksa menghadirkan kembali Miryam di persidangan bersama penyidik KPK Novel Baswedan, MI Susanto dan A Damanik.

Kepada para penyidik, hakim bertanya mengenai adanya tekanan dan ancaman kepada Miryam saat pemeriksaan penyidikan.

Baik Novel Baswedan, MI Susanto maupun A Damanik menyatakan kepada hakim bahwa mereka tidak pernah melakukan penekanan dan pengacaman saat memeriksa Miryam sebagai saksi.

Menurut mereka dalam empat kali pemeriksaan terhadap Miryam pada 1, 7, 14 Desember 2016 dan 24 Januari 2017, penyidik memberi dia kesempatan untuk membaca, memeriksa dan mengoreksi keerangannya pada setiap akhir pemeriksaan sebelum memaraf dan menandatangani.

Selain itu pada setiap awal pemeriksan lanjutan, Miryam juga diberikan kesempatan untuk membaca dan mengoreksi keterangan yang pernah diberikan pada pemeriksaan BAP sebelumnya.

Setelah mendengar keterangan ketiga penyidik KPK, hakim kembali menayakan kepada Miryam terhadap keterangan tersebut. Miryam tetap pada jawaban yang menerangkan bahwa dia telah ditekan dan diancam penyidik KPK saat pemeriksaan dan penyidikan serta dipaksa mendatangani BAP. Miryam tetap menyatakan mencabut semua BAP, termasuk keterangan mengenai penerimaan uang dari Sugiharto.

"Keterangan terdakwa mencabut semua BAP dengan alasan telah ditekan dan diancam tiga orang penyidik KPK saat pemeriksaan penyidikan adalah keterangan tidak benar karena bertentangan dengan keterangan tiga orang penyidik KPK selaku saksi verbal lisan maupun bukti-bukti lain," kata jaksa Kresno.

Data yang dia maksud adalah dokumen draf BAP yang telah dicorat-coret atau dikoreksi dengan tulisan tangan terdakwa maupun rekaman video pemeriksaan yang menunjukkan tidak adanya tekanan dan ancaman dari penyidik.

"Demikian pula keterangan terdakwa yang membantah penerimaan uang dari Sugiharto bertentangan dengan keterangan Sugiharto yang menerangkan telah memberikan sejumlah uang kepada terdakwa," ungkap Kresno.

Penuntut umum saat persidangan KTP-E mengajukan permintaan kepada hakim agar Miryam ditetapkan sebagai pelaku pemberi keterangan palsu atau tidak benar.

Meski hakim tidak mengeluarkan penetapan, hakim mempersilakan penuntut umum untuk memprosesnya secara hukum.

Miryam didakwa menggunakan pasal 22 jo pasal 35 ayat 1 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU no 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 64 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang orang yang sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar. Kalau terbukti bersalah dia bisa dijatuhi pidana penjara paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp600 juta.

Miryam akan mengajukan keberatan atau eksepsi terhadap dakwaan itu. Sidang dilanjutkan pada 18 Juli 2017.


Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017