Jakarta (ANTARA News) - Mantan Komandan Batalyon 42 grup 4 Kopassus yang pernah menjabat komandan tim mawar, Bambang Kristiono, mengajukan uji materiil UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM). Pada sidang pemeriksaan pendahuluan di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa, Bambang yang diwakili oleh kuasa hukumnya, Mahendradatta, menyatakan Bambang merasa jaminan perlindungan dan kepastian hukumnya terancam oleh intervensi politik di DPR. Bambang yang berpangkat terakhir Mayor (Inf) itu sudah dijatuhi hukuman penjara satu tahun delapan bulan oleh Mahkamah Tinggi Militer pada 24 Oktober 2000 untuk kasus penculikan sembilan aktivis pada 1998. Ia juga mendapat hukuman tambahan berupa pemecatan dari kedinasan TNI AD. Namun, Mahendra mengatakan, nama Bambang masuk dalam rekomendasi daftar orang yang harus diperiksa oleh Pansus DPR untuk penyelidikan penculikan dan penghilangan paksa aktivis pada kurun 1997-1998. Menurut Mahendra, rekomendasi itu disebutkan dalam surat Komnas HAM kepada DPR No 418/TUA/XI/2006 tertanggal 27 November 2006 tentang kesimpulan hasil penyelidikan penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1997-1998. "Pemohon sudah menjalani hukumannya dan bahkan kini pemohon telah dipecat dari kesatuannya. Kini, pemohon kembali merasa terancam kebebasannya karena DPR dalam rapat paripurna 27 Februari 2007 telah membentuk pansus mengenai hasil penyelidikan penculikan dan penghilangan paksa aktivis serta merekomendasikan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc untuk kasus tersebut," tutur Mahendra. Untuk itu, Bambang mengajukan uji materi terhadap pasal 43 ayat 2 UU Pengadilan HAM yang mengatur bahwa pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan presiden. Bambang juga mengajukan uji materi terhadap penjelasan pasal tersebut yang mengatur bahwa dalam hal DPR mengusulkan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc, maka DPR mendasarkan dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM berat. Mahendra berpendapat, dengan adanya aturan tersebut maka DPR dapat memberikan tafsir terhadap suatu peristiwa sehingga dapat menimbulkan perbedaan definisi pelanggaran HAM berat dalam suatu peristiwa. "Contohnya, peristiwa Tanjung Priok dan Timor Timur oleh DPR dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat. Sedangkan peristiwa Trisakti tidak. Padahal, peristiwanya sama-sama penembakan dan sama-sama ada korban," tuturnya. Mahendra menambahkan, DPR bukanlah lembaga hukum, sedangkan pelanggaran HAM berat adalah suatu bentuk tindak pidana yang harus diproses melalui lembaga hukum yang diatur oleh kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka. "Segala keputusan yang diambil DPR memiliki landasan kepentingan politik. Hal inilah yang menyebabkan pemohon merasa jaminan perlindungan dan kepastian hukumnya terancam oleh intervensi politik," ujarnya. Mahendra mengatakan, dasar permohonan Bambang sebenarnya adalah ingin membebaskan proses pembentukan pengadilan HAM ad hoc dari intervensi politik di DPR. Ia mendalilkan pasal 43 ayat 2 beserta penjelasannya bertentangan dengan pasal 27 ayat 1, pasal 28D ayat 1 jo pasal 24, pasal 24 A ayat 5, pasal 28G ayat 1 dan pasal 28I ayat 2 UUD 1945. Namun, majelis hakim konstitusi yang diketuai oleh HAS Natabaya, menganggap permohonan uji materi yang diajukan oleh Bambang masih kabur (obscur). Ia menilai permohonan uji materi tersebut hanya didasari oleh kekhawatiran. Ia menuturkan, permohonan yang boleh diujimateri oleh MK mensyaratkan harus adanya hak konstitusional pemohon yang dilanggar atau potensial kerugian yang pasti terjadi, serta adanya sebab akibat antara aturan yang diujimateri dan kerugian konstitusional yang dialami oleh pemohon. Natabaya juga menjelaskan pembentukan UU Pengadilan HAM di Indonesia menggunakan analogi pembentukan International Criminal Court (ICC) yang membutuhkan adanya rekomendasi dari Dewan Keamanan PBB. Majelis juga mengatakan, pemohon telah melupakan satu fakta, bahwa Jaksa Agung dan DPR telah menyatakan kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis pada 1997-1998 bukan merupakan pelanggaran HAM berat.(*)

Pewarta:
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007