Jakarta (ANTARA News) - Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat menolak permohonan penangguhan penahanan yang diajukan oleh terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan empat helikopter jenis MI-17 di lingkungan TNI AD. Usai persidangan dengan agenda pembacaan eksepsi dari kuasa hukum para terdakwa di PN Jakarta Pusat, Kamis, ketua majelis hakim Agung Raharjo mengatakan penahanan para terdakwa masih diperlukan untuk kelancaran pemeriksaan perkara. "Penahanan terhadap para terdakwa masih diperlukan untuk kelancaran pemeriksaan perkara. Untuk sementara ini, majelis belum bisa mengabulkan permohonan penangguhan," tutur Agung. Apabila sesuai perkembangan persidangan majelis berpendapat bahwa penahanan para terdakwa tidak lagi diperlukan demi kelancaran sidang, lanjut dia, maka majelis dapat mengubah sikapnya dan mengeluarkan para terdakwa dari tahanan. "Tentunya, majelis harus memperhatikan perkembangan pemeriksaan perkara," ujar Agung. Empat terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter MI-17, Mantan Direktur Pelaksanaan Anggaran Ditjen Perencanaan Sistem Pertahanan Dephan, Brijen TNI Purn Prihandono, Mantan Kepala Pusat Keuangan Dephan, Tardjani, Mantan Kepala KPKN Jakarta Khusus VI, Marjono, dan rekanan pengadaan, Andy Kosasih, disidangkan dalam satu berkas perkara. Pada sidang pembacaan dakwaan, 7 Juni 2007, kuasa hukum Marjono mengajukan penangguhan penahanan untuk kliennya, sedangkan Andy Kosasih baru mengajukan penangguhan pada sidang 14 Juni 2007. Dalam eksepsinya, kuasa hukum Prihandono, Nurhasyim Ilyas, juga mempersoalkan penahanan terhadap kliennya. Menurut dia, penahanan terhadap Prihandono dilakukan secara tidak sah dan bertentangan dengan hukum. Sesuai pasal 78 ayat 1 UU No 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, kata Ilyas, kewenangan penahanan terhadap seorang prajurit atau mantan prajurit TNI berada pada atasan yang menghukum (ankum). Panglima TNI telah mengeluarkan surat perintah penahanan sementara terhadap Prihandono sejak 24 April 2007 hingga 13 Mei 2007. Namun, Ilyas menambahkan, penuntut umum ternyata memperpanjang penahanan terhadap Prihandono selama 29 hari sejak 2 Mei 2007 hingga 21 Mei 2007. "Ini tidak sesuai dengan keputusan Panglima TNI selaku atasan yang berhak menghukum," ujarnya. Surat penahanan penuntut umum itu kemudian diperpanjang melalui surat penetapan PN Jakarta Pusat untuk penahanan 30 hari sejak 22 Mei 2007 hingga 20 Juni 2007. Menurut Ilyas, perpanjangan penahanan Prihandono selama 30 hari oleh PN Jakarta Pusat itu tidak masuk akal karena berkas perkara baru diserahkan ke pengadilan pada 23 Mei 2007. "Perpanjangan oleh PN Jakarta Pusat dengan alasan masih diperlukan pemeriksaan lebih lanjut dan Prihandono diduga kuat sebagai pelaku tindak pidana korupsi," ujarnya. Pada 15 Mei 2007, lanjut dia, pengadilan belum menerima atau mengetahui berkas perkara yang ada, sehingga seharusnya pengadilan belum membaca berkas perkara tersebut. "Sehingga, dari mana pengadilan menyimpulkan adanya pemeriksaan yang belum selesai atau ada bukti kuat tindak pidana korupsi dalam pengadaan helikopter MI-17 jika belum membaca berkas perkara," ujar Ilyas. Meski menilai penahanan terhadap Prihandono tidak sesuai aturan, Ilyas mengatakan, ia belum mengambil keputusan untuk mengajukan praperadilan.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007