Pembangunan di Bali itu tidak bisa disamakan dengan daerah lain. Bhisama kesucian pura dari PHDI sesungguhnya bukanlah untuk menjegal pembangunan, tetapi untuk memfilter pembangunan."
Denpasar (ANTARA News) - Gubernur Bali Made Mangku Pastika mengatakan Bali lebih baik memiliki sumber energi listrik yang mandiri, dibandingkan tergantung dengan proyek listrik "Bali Crossing".

"Bali harus mandiri energi. Memang Bali perlu listrik, tetapi kalau bisa yang mandiri. Kemungkinan untuk menghasilkan yang mandiri itu pilihannya pun saat ini sudah banyak," kata Pastika, di Denpasar, Kamis.

Menurut dia, konsumsi listrik di Bali memang termasuk yang tertinggi di Indonesia, sehingga diperlukan cadangan listrik untuk mengantisipasi ketika ada perbaikan pembangkit listrik. Apalagi Bali sangat tergantung dari pariwisata.

"Sekarang sih relatif cukup, dari sekitar 1.200 MW kita punya listrik, yang terpakai baru sekitar 840 MW," ucap Pastika.

Orang nomor satu di Bali itu menyatakan sepakat dengan sikap dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali dan PHDI Kabupaten/Kota se-Bali yang menolak rencana "Bali Crossing".

Pastika berpandangan jika Bali harus menambah energi listrik yang dimiliki, seyogyanya yang dihasilkan secara mandiri di Bali. Terlebih saat ini semakin banyak teknologi baru yang bisa diterapkan dan ramah lingkungan, daripada memaksakan untuk membangun saluran udara tegangan ekstra tinggi (SUTET) di kawasan Pura Segara Rupek, Kabupaten Buleleng.

Meskipun rencana pembangunan tower akan dipindahkan lebih jauh dari kawasan pura, bagi Pastika, tetap saja tidak bisa digeser terlalu jauh. "Silakan saja PLN ngotot, tetapi kalau kita `nggak` suka bagaimana," katanya.

Sementara itu, Ketua Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Udayana I Made Sudarma berpandangan senada, menurut dia semestinya dicari dan dipikirkan opsi lain di luar SUTET.

"Pembangunan di Bali itu tidak bisa disamakan dengan daerah lain. Bhisama kesucian pura dari PHDI sesungguhnya bukanlah untuk menjegal pembangunan, tetapi untuk memfilter pembangunan," ucapnya.

Menurut Sudarma, pembangunan Bali Crossing itu sangat rawan terjadi gangguan karena alam, apalagi posisi tower yang sangat tinggi.

"Apapun keuntungan dan kerugian dari setiap pembangunan di Bali, semestinya tidak hanya dilihat dari sisi lingkungan. Namun, tetapi dibentengi dengan kearifan lokal kita," katanya.

Sudarma menambahkan, lebih baik biarkan masyarakat Bali yang menentukan sendiri apa yang terbaik untuk keperluan energi di Bali karena masyarakat Bali sendiri yang tahu dengan kondisinya.

Pewarta: Ni Luh Rhismawati
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018