Kairo (ANTARA News) - Pejabat pemerintah Sudan pada Senin membebaskan seorang wartawan Reuters, seorang wartawan Agence France-Presse (AFP) dan seorang wartawan setempat, yang ditahan saat meliput unjuk rasa di Khartoum pada Rabu pekan lalu.

Reuters berhasil menghubungi wartawannya di Sudan, Khalid Abdelaziz, pada Senin malam untuk pertama kali sejak sebelum penangkapannya. Dia mengatakan tidak dianiaya dan dibebaskan bersamaan dengan wartawan AFP dan seorang wartawan setempat.

Tidak ada tuduhan terhadap para wartawan itu, yang ditahan di penjara Kobar, Khartoum.

"Kami sangat lega bahwa wartawan Reuters Khalid Abdelaziz telah dibebaskan dari penahanan di Khartoum," kata juru bicara Reuters.

"Dia telah dipertemukan kembali dengan keluarganya dan akan kembali ke pekerjaan penting untuk melaporkan kejadian di Sudan pada waktunya," katanya.

AFP menerbitkan berita memastikan pembebasan wartawannya.

Para wartawan itu ditahan saat meliput unjuk rasa dan bentrokan dengan pasukan keamanan yang meletus di Sudan awal bulan ini setelah Khartoum memberlakukan langkah-langkah ekonomi sulit sesuai dengan rekomendasi Dana Moneter Internasional.

Sementara itu, Sudan pada Minggu menyampaikan penyesalan sehubungan dengan kecaman oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat mengenai "kondisi buruk hak asasi manusia dan kebebasan masyarakat" di Sudan.

Amerika Serikat gagal melihat pembangunan besar dalam peningkatan kondisi hak asasi manusia dan kebebasan masyarakat di Sudan, kata Kementerian Luar Negeri Sudan di dalam satu pernyataan.

Kementerian tersebut mengatakan Sudan menikmati kebebasan pers dengan lebih dari 20 surat kapal politik yang mewakili bermacam partai politik, kebebasan bersuara dan berpendapat secara mandiri, menurut laporan Xinhua.

Semua kebebasan itu beroperasi dalam kerangka kerja undang-undang dasar dan hukum.

Pada Jumat, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat mengutuk penahanan sejumlah wartawan oleh Sudan, saat mereka meliput protes terhadap kenaikan harga pada Rabu, dan menggambarkan kondisi hak asasi manusia di Sudan sebagai "buruk".

Sudan juga dilaporkan pada Sabtu secara resmi mengumumkan penutupan perbatasan timurnya dengan Eritrea, setelah penggelaran ribuan prajurit Sudan di Negara Bagian Kassala di perbatasan dengan Eritrea, kata kantor berita resmi Sudan, SUNA.

Keputusan tersebut diambil beberapa jam setelah Pemerintah Sudan membantah ada ketegangan dengan Eritrea.

Ia mengatakan penggelaran tentara di Negara Bagian Kassala dilakukan dalam kerangka kerja instruksi darurat dan dekrit yang berkaitan dengan pengumpulan senjata dan kendaraan tanpa plat nomor, selain untuk menghadapi kegiatan penyelundupan manusia dan penyelundupan senjata serta barang dagangan.

Ribuan prajurit Pasukan Pendukung Reaksi Cepat, satu bagian militer Sudan, belum lama ini tiba di negara bagian itu.

Pada 30 Desember 2017, Presiden Sudan Omar Al-Bashir mengeluarkan dekrit yang mengumumkan keadaan darurat di Negara Bagian Kordofan Utara di Sudan Barat dan Negara Bagian Kassala di Sudan Timur.

Menurut dekrit tersebut, keadaan darurat akan berlangsung enam bulan.

Pewarta: -
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2018