Penulis : Boni Hargens*)

Selentingan beredar bahwa Rizieq Sihab (RS) hari ini tiba di tanah air. Bahkan Kepolisian Republik Indonesia merepsons dengan serius baik dari segi pengamanan maupun dari aspek penegakan hukum.

Ketika bergulir kabar pembatalan kedatangan Rizieq ke tanah air, muncul informasi bahwa pimpinan Front Pembela Islam (FPI) itu akan tiba subuh 22 Februari 2018 nanti. Benarkah begitu? Apa untung ruginya?

Sebelum kabar kedatangan beredar, sudah berkembang spekulasi bahwa pemerintah perlu berdamai dengan bekas pemimpin gerakan massa 212 dan 411 itu untuk menjamin stabilitas politik menjelang Pilkada 2018 dan Pilpres 2019.

Entah siapa yang memainkan bola ini, yang jelas ini perhitungan pragmatis yang serba salah.

Gagasan itu menurut saya datang dari para politisi pemburu rente (rent-seeking politicians) yang ingin menjebak pemerintah dalam pusaran politik radikal.

Ada benarnya bahwa islah dengan kubu RS adalah peluang untuk menurunkan tensi politisasi agama dan radikalisasi di ruang publik. Tetapi apakah itu pilihan yang bijaksana saat ini?

RS sudah menjadi simalakama. Kalau dia kembali ke tanah air, lalu strategi para pemburu rente itu dijalankan, maka guncangan besar akan terjadi. Mereka yang ingin melawan pemerintah dan memainkan politik identitas akan melihat ini sebagai preseden untuk menjadi pahlawan.

Mitos heroisme di kalangan kelompok radikal akan terus menguat meskipun secara politik, barangkali benar bahwa ada stabilitas yang terbangun. Tapi itu stabilitas sementara.

Kalau RS kembali ke tanah air dan langsung ditahan oleh Polri, maka itu pilihan yang seharusnya.  Idealnya memang harus begitu. Penegakan hukum tidak pandang buluh. Penegakan hukum harus mendahului kepentingan politik.

Taruhan termahal adalah integritas institusi kepolisian. Polri telah bekerja keras dan telah memperlihatkan komitmen yang tiada taranya dalam melawan radikalisme. Polri telah membantu menjaga pemerintahan Jokowi dengan segala risikonya.

Maka, membebaskan RS dari proses hukum adalah pukulan telak untuk Polri dan dunia penegakan hukum di tanah air. Pada akhirnya, pemerintahan Jokowi akan menuai kritik dan kontraproduksi yang fatal dari publik.

Pilihan lain adalah RS tidak kembali ke tanah air. Hal ini berdampak ganda: (1) penyelesaian hokum kasus RS akan terus mengambang dan (2) akan melanggengkan narasi radikal yang mengelabui kasus hokum RS dengan stigma “kriminalisasi”, “penzoliman terhadap ulama”, dan bahkan dituduh antiIslam.

Tuduhan seperti ini makin subur dan menguat menjelang Pilkada 2018 dan Pilpres 2019. Kenapa? Karena kelompok radikal tidak bekerja sendirian.

Ada kekuatan politik yang mengais untung dari kenyataan ini. Mereka memanfaatkan militansi dari kelompok RS untuk meraih kekuasaan. Politisasi SARA adalah jalan paling buruk dan paling hina dari semua jalan dalam meraih kekuasaan.

Kalau dilihat dari aspek politik dan hukum, pilihan RS tidak kembali ke tanah air adalah pilihan yang terbaik saat ini.

Secara politik, hal itu akan (1) mencegah terjadinya peluang meluasnya pengaruh kelompok RS dalam politik Pilkada dan Pilpres 2019, dan (2) menutup peluang bagi pemburu rente untuk menjebak Jokowi dalam relasi pragmatis dengan kubu RS atas nama “stabilitas politik”.

Secara hukum, tidak kembalinya RS tidak berarti hokum kalah. Ini hanya masalah waktu. Sementara, keuntungan yangdiraih, Polri tidak perlu menguras energi menghadapi para pendukung RS dan potensi meluasnya pengaruh RS apabila ia berada di tanah air.

*) pengamat politik

Pewarta: -
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2018