Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah, dalam hal ini, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat mempelajari penanganan masalah taksi daring dari Korea Selatan yang dinilai sebagai negara yang berhasil menerapkan dua jenis taksi konvensional dan daring.

Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Budi Setiyadi menghadirkan Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan Umar Hadi dalam diskusi di Jakarta, Kamis.

Umar Hadi menyebutkan terdapat dua solusi yang dilakukan di Korea Selatan, yaitu solusi regulasi dan solusi teknologi.

"Dari segi regulasi, di Korea Selatan itu taksi daring diposisikan sebagai pelengkap, bisa menggunakan pribadi dan melayani komuter, digandengkan dengan solusi teknologi yang menyediakan aplikasi gratis bagi taksi-taksi konvensional, sampai sekarang keseimbangan masih terjaga," katanya.

Artinya, lanjut dia, perusahaan aplikasi Kakao menyediakan aplikasi gratis bagi para taksi konvensional dan taksi daring hanya boleh beroperasi pada jam-jam sibuk atau jam berangkat dan pulang bekerja.

"Ada perusahaan aplikasi, kalau di sini pakai Whatsapp di sana pakai Kakao Talk, perusahaan itu lah yang menyediakan aplikasi gratis bagi perusahaan-perusahaan taksi konvensional," katanya.

Umar menyebutkan sebanyak 96 persen taksi konvensional sudah menggunakan aplikasi tersebut dan terhitung 18 juta pengguna sudah terdaftar di jasa daring tersebut serta sudah ada 1,5 juta panggilan setiap harinya.

Dari segi tarif, lanjut dia, tidak terlalu jauh berbeda antara taksi daring dan konvensional, yang membedakan adalah penggunaan aplikasi yang memudahkan konsumen.

"Undang-Undangnya baru dibuat 2017, kalau pakai Kakao itu pakai taksi meter biasa dan tidak jauh berbeda," katanya.

Dalam kesempatan sama, Direktur Angkutan dan Multimoda Kemenhub Cucu Mulyana menuturkan tidak ada perbedaan yang signifikan dari segi peraturan baik di Indonesia maupun di Korea Selatan untuk mengatur taksi daring.

Hanya saja, dia menambahkan, untuk aplikasi di Korea Selatan diberikan gratis, sedangkan di Indonesia sistem bagi hasil atau "profit sharing" 20 persen untuk aplikator, 80 persen untuk pengemudi.

"Intinya sebenarnya sama, kalaupun berbeda tidak jauh prinsipnya, di sana itu istilahnya benar-benar gratis aplikasinya, kita `profit sharing` 20 persen," katanya.

Karena itu, lanjut dia, hampir seluruh pengemudi taksi konvensional menggunakan aplikasi tersebut dan menciptakan keseimbangan.

"Angkutan konvensionalnya tidak tergerus, tidak ada yang mati," katanya.

Pewarta: Juwita Trisna Rahayu
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018